Selasa, 28 Juni 2011

Natuna Ingin Jadi Provinsi Sendiri

NATUNA – Masyarakat Kabupaten Natuna ingin membentuk Provinsi tersendiri karena jarak yang jauh dengan wilayah Provinsi Kepri menyebabkan birokrasi dan perhatian Pemerintah Provinsi dinilai kurang sehingga pertumbuhan ekonomi sulit dicapai dan kesejahteraan warga terabaikan, meskipun Natuna memiliki kekayaan alam berlimpah.



Mantan Bupati Natuna, Daeng Rusnandi mengatakan, usulan untuk pembentukan Provinsi Natuna sangat tepat untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di daerah yang kaya dengan sumber daya alam tersebut.

Untuk itu, langkah pertama yang harus dilakukan pemerintah daerah Natuna saat ini yaitu memekarkan kabupaten Natuna atas tiga kabupaten. Jika hal itu sudah dicapai, maka realiasasi Provinsi Natuna akan semakin cepat.

Sementara itu, Direktur Eksekutif LBH Cahaya Keadilan yang juga tokoh masyarakat Natuna, Arifin mengatakan, saat ini aliansi LSM yang ada di Natuna sedang mempersiapkan pertemuan akbar yang melibatkan berbagai unsur untuk pembentukan panitia pemisahan Natuna dari Kepri, dan sampai saat ini seluruh unsur dalam kelompok masyarakat Natuna belum ada yang menolak rencana pemisahan itu.

Fahmi Fikri, Anggota Komisi IV DPRD Provinsi Kepri asal Kabupaten Natuna mengatakan mendukung sepenuhnya aspirasi warga Natuna untuk membentuk provinsi tersendiri atau bergabung dengan Pemerintah Kalimantan Barat (Kalbar) yang jaraknya lebih dekat dari Natuna ketimbang Provinsi Kepri. Sikap itu juga didasari atas ketidakpuasan masyarakat atas minimnya perhatian Pemprov Kepri terhadap Natuna.

Menurutnya, terdapat kesenjangan yang mencolok antara perhatian Pemprov kepada Natuna dengan daerah lain seperti Batam, Bintan dan Karimun. Padahal kontribusi Natuna terhadap pendapatan Provinsi sangat besar.

“Natuna menyumbangkan setengah dari APBD yang ada, dan fakta di lapangan, Natuna justru terkesan dianaktirikan dibanding daerah tingkat dua lainnya, itu terlihat dari minimnya pembangunan infrastruktur,” katanya.

Salah satu contoh ketidakpedulian Pemprov Kepri terhadap Natuna, kata Fahmi adalah membiarkan warga Natuna tidak bekerja karena minimnya lapangan pekerjaan. Kondisi tersebut dipicu kesenjangan pembangunan sehingga pihak swasta tidak tertarik menanamkan modalnya. Akibatnya warga Natuna hanya berprofesi sebagai pegawai negeri sipil yang peluangnya sangat terbatas.

"Di Natuna ada satu sekolah yang jumlah muridnya sama dengan jumlah pegawai. Misalnya, jumlah siswa ada tiga puluh maka jumlah guru beserta pegawai juga ada tiga puluh. Ini jelas mubazir dan tidak seimbang. Itu terpaksa dilakukan karena tidak ada lapangan kerja di Natuna," kata dia.

Sementara itu, saat kunjungan Presiden SBY ke Natuna beberapa waktu lalu telah diputuskan untuk

membangun pelabuhan perikanan terpadu di Natuna. Untuk proyek itu, pemerintah pusat telah mengalokasikan dana dari APBN sebesar 150 miliar rupiah. Proyek yang harusnya dibangun di Natuna tersebut oleh Pemprov Kepri dipindahkan ke Karimun. Hal tersebut sangat melukai warga Natuna karena jelas tidak adil.

Kurangnya perhatian Pemerintah Provinsi Kepri terhadap pembangunan ekonomi Natuna menyebabkan warga Natuna terus menerus hidup dalam kondisi kekurangan, padahal daerah itu memiliki kekayaan alam berlimpah.

Nilai ekonomi dari Minyak dan Gas di Natuna yang diketahui saat ini mencapai triliunan rupiah itu bisa dilihat dari kandungan yang terdata. Potensi gas yang recoverable atau yang bisa diperkirakan di Natuna sebesar 46 tcf (triliun cubic feet) setara dengan 8,383 miliar barel minyak, jika diasumsikan harga rata-rata minyak 75 dollar AS per barel selama periode eksploitasi maka nilai potensi ekonomi gas Natuna 628,725 miliar dollar AS, setara dengan 6.287,25 triliun rupiah dengan kurs 10.000 rupiah per dollar AS dan itu lebih tinggi dibanding APBN 2010 yang hanya 1.047,7 triliun rupiah.

Dengan potensi itu, Pemerintah atau investor mestinya dapat membangun instalasi pengolahan minyak dan gas dari bahan mentah ke bahan jadi dan siap pakai di Natuna, tidak yang terjadi selama ini, dimana Minyak dan gas dari Natuna di kirim ke Singapura dengan harga rendah lalu di olah menjadi produk BBM siap pakai kemudian Singapura mengekspornya kembali ke Indonesia dengan harga tinggi.

Jika pengolahan Migas bisa dilakukan di Natuna, maka lapangan kerja tersedia berlimpah sehingga warga Natuna bisa mendapatkan kerja untuk meneruskan hidupnya. (gus).


Tidak ada komentar: