Selasa, 28 Juni 2011

Industri Manufaktur Butuh Proteksi



Industri manufaktur masih mengahadapi banyak kendala untuk tumbuh, dimulai dari fluktuasi harga minyak dunia, tingginya tarif listrik dan bunga bank serta derasnya produk impor khususnya dari China sehingga dibutuhkan keberpihakan yang lebih besar dari pemerintah terhadap pelaku industri dalam negeri.



Kepala Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan mutu Industri Kementrian Perindustrian, Arryanto Sagala mengatakan, pertumbuhan industri mengalami banyak hambatan di awal tahun 2011 seperti harga minyak dunia yang mengalami peningkatan hingga 103 dollar AS per barel yang memicu peningkatan harga bahan baku, harga bahan bakar minyak industri serta biaya transportasi.

Selain itu belum terbitnya revisi PMK (Peraturan Menteri Keuangan) 241/2010 tentang penetapan sistem klasifikasi barang dan pembebanan tarif bea masuk atas barang impor terkait tiga komponen diantaranya industri farmasi dan grafika juga ikut memicu perlambatan industri manufaktur. Revisi itu penting sebab pelaku industri dalam negeri butuh kepastian hukum untuk mengimpor bahan baku. Menurutnya, dari 287 pos tarif yang dibahas dalam revisi PMK 241/2010, bea masuk (BM) 190 pos tarif diputuskan untuk kembali ke posisi semula. 182 pos tarif dikembalikan ke nol persen, sedangkan delapan lainnya dikembalikan dari lima persen di PMK 241, menjadi 10 persen.

182 pos tarif yang dikembalikan ke nol persen adalah 60 pos tarif sektor kimia, 91 pos tarif sektor permesinan, 17 pos tarif sektor elektronika, 13 pos tarif sektor perkapalan, dan satu untuk perfileman. Sedangkan, pos tarif yang dikembalikan ke 10 persen di antaranya produk ikan kaleng dan permen.

Aryanto berharap Menteri Keuangan segera mengeluarkan revisi PMK 241/2010 untuk tiga komponen industri seperti grafika dan farmasi agar daya saing industri dalam negeri meningkat. Saat ini Menteri keuangan sudah menyelesaikan revisi bea masuk untuk industri pertanian, pangan dan pupuk serta industri manufaktur.

Hambatan industri manufaktur untuk tumbuh juga datang dari produk impor khususnya China yang beredar luas di pasaran dengan harga murah, seperti produk pipa baja, elektronik dan tekstil.

Maraknya peredaran pipa baja dari China dengan harga murah tersebut memicu produsen pipa baja dalam negeri di Batam telah menurunkan produksinya. Direktur Industri Logam Kementerian Perindustrian, Putu Surya Wiryawan ketika berkunjung ke Batama beberapa hari lalu mengatakan, produksi industri pipa baja lokal untuk keperluan pengeboran minyak dan gas lepas pantai di Batam mengalami penurunan signifikan disebabkan maraknya peredaran pipa baja jadi dari China yang harganya lebih murah. Kondisi itu menyebabkan produsen pipa baja di Batam tidak dapat bersaing dengan baja China sehingga produksi di turunkan.

Sementara itu, Direktur PT Citra Tubindo Tbk salah satu produsen pipa baja di Batam, Kris T Wiluan mengatakan, pemerintah harus meningkatkan kandungan lokal penggunaan barang dan jasa dalam industri penunjang migas di dalam negeri karena banyak konstruksi migas di tanah air masih menggunakan barang dan jasa asing untuk penunjang operasionalnya padahal industri dalam negeri sudah bisa berproduksi dengan kualitas yang cukup bersaing.

Kris berharap pemerintah mau meningkatkan kandungan lokal penggunaan barang dan jasa industri penunjang Migas menjadi 100 persen sehingga, perusahaan dalam negeri bisa berkembang.

Wakil Ketua Bidang Flat Product Asosiasi Industri Baja dan Besi Indonesia (Indonesian Iron & Steel Industry Association/IISIA) Irvan Kamal Hakim mengatakan, pemerintah juga perlu melindungi industri dalam negeri dengan memberlakukan ketentuan wajib verifikasi impor besi atau baja untuk membendung serbuan produk Cina. Saat ini saja, sudah mulai terasa penurunan penjualan produk dalam negeri, itu terlihat dari utilisasi pabrik pipa baja dalam negeri yang tinggal 28,4 persen dari total kapasitas terpasang 2,23 juta ton.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengatakan, meski banyak hambatan namun industri manufaktur masih tetap tumbuh tahun ini walaupun tidak secepat pertumbuhan industri lain seperti ritel dan infrastruktur. Itu disebabkan banyaknya kendala yang dihadapi pelaku industri manufaktur seperti kurang siapnya infrastruktur pendukung antara lain jalan dan pelabuhan yang menyebabkan tingginya biaya produksi. Oleh karenanya, pemerintah perlu mempercepat proses pembangunan infrastruktur. Selain itu, birokrasi juga harus dipangkas agar lebih cepat dan efisien.

Permasalahan capping TDL dan fluktuasi harga minyak dunia juga akan menekan pertumbuhan industri manufaktur, selain tingginya ketergantungan industri dalam negeri terhadap bahan baku impor.

Meski menghadapi banyak persoalan, industri manufaktur masih tetap tumbuh di awal tahun ini. Pada kuartal satu 2011 industri manufaktur tumbuh 5,15 persen dan di kuartal kedua ditargetkan 6,0 persen, sehingga proyeksi pertumbuhan 6,1 persen selama 2011 bisa dicapai.

Menteri Perindustrian MS Hidayat mengatakan, pertumbuhan di kuartal pertama tahun 2011 banyak didorong oleh pertumbuhan di sektor automotif dan elektronika sedangkan di industri makanan dan minuman (mamin) melambat yang dipicu melonjaknya harga komoditi pertanian dan juga membanjirnya produk impor sejak perjanjian kerja sama perdagangan China-Asean Free Trade Agreement (CAFTA) diimplementasikan. Hidayat berharap, industri mamin bisa mengalami kenaikan menjadi lima persen pada kuartal kedua 2011.

Pemerintah memproyeksikan industri mamin (makanan dan minuman) dan tembakau bisa mencapai 7,93 persen (2011), 8,15 persen (2012), 8,94 persen (2013), dan 10,4 persen (2014). Sedangkan industri tekstil, barang kulit dan alas kaki 3,4 persen (2011), 3,75 persen (2012), 4,3 persen (2013), 5,6 persen (2014). Industri barang kayu dan hasil hutan lainnya ditargetkan tumbuh 2,75 persen (2011), 2,9 persen (2012), 3,4 persen (2013), dan 3,9 persen (2014), industri kertas dan barang cetakan 4,8 persen (2011), 4,9 persen (2012), 5,3 persen (2013), dan 5,58 persen (2014).

Industri pupuk, kimia dan barang dari karet 5,46 persen (2011), 5,75 persen (2012), tujuh persen (2013), dan 8,3 persen (2014), industri semen dan barang galian bukan logam ditargetkan tumbuh 3,74 persen (2011), 4,05 persen (2012), 4,6 persen (2013), dan 5,3 persen (2014). Industri logam dasar, besi dan baja 3,4 persen (2011), empat persen (2012), 4,5 persen (2013), 5,5 persen (2014), industri alat angkut, mesin dan peralatannya 6,4 persen (2011), 7,78 persen (2012), 8,3 persen (2013), dan 10,2 persen (2014), serta industri barang lainnya yang ditargetkan tumbuh 5,6 persen (2011), enam persen (2012), 6,4 persen (2013), dan 6,8 persen (2014).

Untuk mengejar target tersebut, pemerintah senantiasa mengenjot ekspor dan meningkatkan investasi di industri manufaktur. Untuk tahun ini saja, ekspor industri manufaktur nasional ditargetkan 92,26 miliar dollar AS. Target itu bisa tercapai karena ada beberapa investasi yang akan direalisasikan pada tahun ini, seperti produsen ban asal Korea, Hankook Tire co. ltd, produsen baja asal China, MCC Corporation, dan perusahaan smelter asal India, Trimex.

Pemerintah sendiri membutuhkan investasi 124,6 triliun triliun rupiah pada tahun ini untuk mengejar target pertumbuhan tersebut.

Terkait dengan serbuan produk pipa baja China, Wakil Menteri Perindustrian Alex SW Retraubun mengakui adanya serbuan barang impor, khususnya pipa baja, dari China. Karena itu, pemerintah akan meningkatkan pengawasan terhadap barang China yang masuk ke Indonesia dengan memperketat pengawasan dan penerapan SNI (Standar Nasional Indonesia) serta save guard untuk produk pipa baja. Pasalnya sejak empat bulan terakhir, terjadi lonjakan impor pipa baja yang dikeluhkan sejumlah pengusaha pipa baja yang tergabung dalam The Indonesian Iron & Steel Industry Association (IISIA).

Impor pipa baja dari China pada tahun 2010 sebanyak 53.180 ton, Jepang 36.694 ton, dan negara lainnya sebanyak 45.123 ton. Sementara itu, impor pipa bor, casing, dan tubing selain green pipe pada tahun 2010 mencapai 53.902 ton, turun dari 2009 yang sebesar 54.501 ton sedangkan tahun lalu, impor dari China sebesar 39.155 ton, Jepang sebesar 12.149 ton, dan negara lainnya sebesar 2.598 ton. (gus).

Tidak ada komentar: