Menunggu Keseriusan Pemerintah Soal KEK
Keseriusan pemerintah untuk merealisasikan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) masih dipertanyakan sebab prasyarat untuk pengembangan kawasan itu belum juga dibangun di daerah yang akan dijadikan KEK seperti infrastruktur yang berkualitas serta birokrasi dan kelembagaan yang efisien. Padahal, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, KEK di negara lain seperti Cina terbukti ampuh menjadi katalis pembangunan ekonomi.
Pemerintah Cina, bisa dikatakan paling berhasil memikat perusahaan asing dengan program KEK-nya. Dimulai ketika negara itu membentuk kawasan ekspor khusus di Zhuhai, Shantou, dan Shenzhen di Provinsi Guangdong serta Xiamen di Provinsi Fujian sekitar Juli 1979 lalu pada Mei 1980, zona kawasan itu diganti namanya menjadi KEK.
April 1988, daerah Hainan yang sebelumnya bagian dari Provinsi Guangdong dimekarkan menjadi provinsi sendiri, lalu dimasukkan ke dalam KEK, selanjutnya tahun 1984, sebanyak 14 kota pantai Cina dinyatakan terbuka terhadap dunia luar.
Yang menarik dari KEK Cina adalah pemerintah setempat (pemda) diizinkan untuk mengambil langkah-langkah untuk mendorong pengembangan ekonomi tanpa perlu persetujuan dari pemerintah pusat, kepemilikan swasta dan investasi asing juga disahkan di kawasan itu.
Setelah itu, Cina membuka 54 kawasan pengembangan ekonomi dan teknologi tingkat nasional serta kawasan industri yang mendapat perlakuan kusus dari Pemerintah Pusat. Lalu dibangun lima kawasan industri yang memperoleh kebijakan khusus tingkat nasional, yaitu Kawasan Pengolahan Ekspor Jinqiao (Shanghai), Kawasan Pengolahan Ekspor Haichang (Xiamen, Provinsi Fujian), Kawasan Pengembangan Daxie (Ningbo, Provinsi Zhejiang), dan Kawasan Pengembangan Ekonomi Yangpu (Provinsi Hainan), dan Taman Industri Suzhou (Provinsi Jiangsu).
Cina juga membangun infrastruktur berstandar dunia untuk mendukung program tersebut, seperti pelabuhan dan jalan. Itu berdampak luar biasa terhadap pertumbuhan ekonomi negeri tirai bambu tersebut. Pelabuhan-pelabuhan di Cina selanjutnya muncul sebagai pelabuhan kelas dunia hingga mampu melayani seperlima volume kontainer dunia.
Alhasil KEK Cina mampu meningkatkan perekonomiannya dan pada tahun 2004, negara itu berhasil menarik investasi langsung asing sejumlah 60,6 miliar dollar AS dan 500 perusahaan besar dunia hampir seluruhnya melakukan investasi di kawasan KEK Cina.
Keberhasilan KEK di Cina, bisa jadi pelajaran bagi Indonesia yang ingin membangun kawasan yang sama.
Staf Ahli Menkoperekonomian W Budi Santoso kepada Koran Jakarta di Batam Jumat (8/10) mengatakan pemerintah memang serius membangun KEK. Untuk itu telah dipersiapkan terlebih dahulu payung hukumnya yang akan diterbitkan Desember 2010 ini.
Namun, Pemerintah sebelumnya akan banyak belajar dari implementasi KEK di Batam, Bintan dan Karimun yang sudah terlebih dahulu menjadi kawasan ekonomi khusus berstatus FTZ atau kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas.
Peneliti senior LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Syarif Hidayat yang melakukan kajian tentang Special Economic Zone (SEZ) Batam, Bintan dan Karimun (BBK) mengungkapkan ada beberapa hal yang menarik bisa dipelajari dari KEK di BBK.
Syarif memandang hal itu perlu dicermati pemerintah sebelum merealisasikan KEK di kawasan lain karena hal tersebut menjadi titik lemah pelaksanaan FTZ di BBK.
Pertama, soal birokrasi. Syarif berpandangan birokrasi yang ada di daerah SEZ BBK masih rumit disebabkan pemerintah pusat belum sepenuhnya memberi kewenangan pada Dewan Kawasan FTZ BBK atau Pemerintah daerah. Itu bisa dilihat dari masih adanya aturan tentang barang barang yang boleh dan tidak boleh masuk dalam kawasan FTZ yang terdapat dalam dokumen Masterlist, mestinya pemerintah cukup menerbitkan Negatif List. Selain itu, sejumlah perijinan investasi juga masih harus mendapat rekomendasi dari pemerintah pusat.
Kedua, faktor kelembagaan FTZ BBK yang tidak efisien, terlalu gemuk dan tidak melibatkan para profesional. Kelembagaan FTZ BBK saat ini terdiri dari Dewan Nasional yang memiliki struktur lalu Dewan Kawasan yang juga memiliki struktur dan Badan Pengusahaan yang juga memiliki struktur.
Sebagian struktur dalam kelembagaan itu dipegang oleh pejabat daerah yang awalnya diharapkan bisa memperlancar kordinasi. Namun, yang terjadi mobilitas aparat dalam struktur tersebut menjadi sangat lamban karena struktur yang terlibat didalamnya tidak ada yang focus dalam pekerjaanya. Selain itu profesionalitas pejabat di daerah yang terlibat dalam struktur juga diragukan kemampuannya.
Oleh karena itu, Syarif mengajurkan Pemerintah mereformasi kelembagaan di FTZ BBK untuk menjadi acuan kelembagaan di KEK nasional nantinya.
Jika melihat Cina, kelembagaan di KEK-nya sangat ramping. Pengeloaan KEK Cina dilakukan oleh suatu badan yang disebut dengan Guangdong Provincial Administration of Special Economic Zone (GPA-SEZ) dimana badan ini memiliki independensi vis a vis pemerintah Provinsi.
GPA SEZ diberi kewenangan penuh untuk menilai dan mengesahkan proyek proyek investasi, menyusun rencana tata ruang SEZ dan menetapkan berbagai regulasi yang berkaitan dengan aktivitas usaha industri di lokasi SEZ.
sementara di FTZ BBK untuk mendapat persetujuan alokasi lahan di wilayah Batam (Rempang dan Galang) saja membutuhkan waktu beberapa tahun bahkan sampai hari ini belum selesai karena Departemen terkait seperti Departemen Kehutanan dan Badan Pertanahan Nasional masih belum sepakat.
Ketiga, Soal pembiayaan. Pemerintah juga harus siap dengan pembiayaan untuk memastikan sistem bergerak. Sebab selama ini FTZ BBK masih mengandalkan pembiayaannya dari APBD, padahal pembiayaannya mestinya di dukung dari APBN.
Keempat, soal infrastruktur, ini menjadi factor utama keberhasilan KEK, ironisnya pemerintah sampai hari ini belum juga menyediakan infrastruktur yang memadai di kawasan FTZ BBK. Misalnya belum ada pelabuhan ekspor di Batam, sementara itu, di Karimun dan Bintan bahkan sama sekali belum ada pelabuhan container yang memadai.
Kepala Sub Direktorat Perijinan BP Batam (Otorita Batam) Yayan Achyar mengatakan, persoalan infrastruktur mestinya menjadi hal utama yang harus disediakan pemerintah dalam menjalankan program FTZ. Ironisnya sampai hari ini di kawasan FTZ BBK belum terdapat pelabuhan ekspor yang memadai.
“Bagaimana mungkin FTZ BBK bisa berkembang jika investor tidak bisa mengirim barangnya di pelabuhan, atau bisa dikirim tapi waktunya lama karena pelabuhan yang ada saat ini tidak memadai,” katanya.
Untuk itu, Yayan menyarankan pemerintah untuk secepatnya membangun pelabuhan eksopr di Batam. Sebab seluruh barang yang diproduksi dari Batam saat ini di ekspor melalui pelabuhan Singapura. Untuk itu setiap perusahaan di Batam harus mengeluarkan biaya 6 juta sampai 10 juta rupiah per container.
Kondisi itu bisa meningkatkan biaya produksi perusahaan sehingga harga jual menjadi lebih tinggi. Akibatnya perusahaan yang ada di Batam sulit bersaing dengan perusahaan di negara lain sehingga tidak menutup kemungkinan perusahaan asing tersebut bisa merelokasi pabriknya ke kawasan di negara lain yang lebih menjanjikan. (gus).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar