BATAM – Sebuah kapal berbobot 33 ton yang mengangkut kayu olahan tujuan Batam tenggelam di perairan Selatmi, Moro Provinsi Kepualuan Riau pada hari Kamis (21/10) akibat pekatnya kabut asap dan hingga kini belum bisa dievakuasi karena kabut asap kian menebal.
Kepala Pos Polair Moro, Aiptu Zainal Asri membenarkan adanya kapal yang tenggelam di Perairan Desa Selatmi Moro Provinsi Kepulauan Riau pada hari Kamis (21/10). Kapal itu memiliki bobot sekitar 33 ton membawa muatan kayu broti atau kayu olahan tujuan Batam dari pulau sekitar Moro.
”kapal yang tenggelam di perairan Selatmi, Kamis lalu disebabkan kabut asap, nama nama kapalnya belum kita ketahui karena sampai hari ini evakuasi belum bisa dilakukan akibat kabut asap tersebut,” katanya, Senin (25/10).
Musibah tenggelamnya kapal bermuatan kayu itu diduga disebabkan kabut asap yang ada diperairan Kepri sangat tebal sehingga pandangan nahkoda terganggu, akibatnya kapal menabrak karang lalu tenggelam.
Seluruh kayu olahan yang ada di kapal tersebut akhirnya berserakan di laut lalu diambil oleh nelayan setempat, sementara sekitar 10 awaknya diselamatkan oleh nelayan dan Polair Kepri.
Gelombang Tinggi
Selain kabut asap yang kian menebal, wilayah perairan Kepri khususnya di sekitar Natuna juga saat ini terjadi gelombang tinggi hingga lebih 3 meter. Akibatnya, nelayan memilih untuk tidak melaut.
Menurut seorang nelayan Wandi (46), ketinggian gelombang yang mencapai lebih tiga meter tersebut merupakan tanda masuknya musim angin utara.
”Sudah tiga hari ini ombak di laut tinggi, sebagian nelayan tidak berani melaut. Jangankan melaut, pompong yang berlabuh di pesisir pantai saja terombang - ambing oleh ombak yang keras,” katanya.
Kondisi tersebut, kata dia akan berlangsung hingga satu minggu lebih, setelah itu gelombang laut kembali normal, namun dengan kondisi cuaca ekstrim dan tidak menentu saat ini, gelombang tinggi bisa terjadi hingga beberapa pecan.
Dengan kondisi seperti itu, nelayan memilih untuk mencari pekerjaan lain seperti tukang ojek untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Beberapa nelayan lainnya memilih untuk memperbaiki perahu atau pompomnya yang telah rusak.
Menurut Wandi, musim utara sangat dikhawatirkan para nelayan dan masyarakat Natuna, sebab selain tidak bisa melaut, distribusi sembako yang biasa didatangkan dari luar Natuna akan mengalami keterlambatan.
Oleh karena itu, pada musim utara biasanya harga harga sembilan bahan pokok (Sembako) melonjak karena pasokan terbatas akibat distribusi yang macet tersebut.
Wandi berharap pemerintah daerah segera mencari solusi atas kondisi itu, karena hamper seluruh kebutuhan sembako warga Natuna dan Anambas didatangkan dari luar pulau seperti Batam dan kota lainnya. Jika distribusi sembako macet, maka masyarakat di Natuna dan Anambas akan makan seadanya, sehingga warga berpotensi menderita berbagai penyakit. (gus).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar