Sabtu, 21 November 2009

Pengusaha Keluhkan Status Batam

BATAM – Sejumlah pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia Kepulauan Riau (Kepri) kembali dibuat bingung oleh pemerintah yang berencana mengganti status FTZ (kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas) Batam yang baru diresmikan pada April 2009 lalu menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Rencana penggantian itu dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum dan akan menghambat investasi.







Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Provinsi Kepri Cahya mengatakan, pemerintah melalui Menteri Perindustrian MS Hidaya beberapa waktu telah mengumumkan akan menganti status batam dari FTZ menjadi KEK (Kawasan Ekonomi Khusus), padahal status FTZ baru saja diresmikan Presiden RI pada April 2009 lalu yang berlaku selama 70 tahun dengan payung hukum yang jelas yakni Undang Undang.

Rencana penggantian itu, kata Cahya menimbulkan keresahan dan kebingungan bagi pengusaha di Batam karena mereka baru saja menyesuaikan operasional bisnisnya dengan aturan FTZ tersebut.

Oleh karena itu, kata dia Apindo Kepri akan menemui Menteri Perindustrian untuk membicarakan soal rencana penggantian status hukum Batam tersebut.

Menurut Cahya, rencana penggantian status hukum Batam dari FTZ ke KEK seperti yang diungkapkan Menteri Perindustrian beberapa waktu lalu tersebut, memang memiliki tujuan yang positif untuk menjaring dan menggairahkan iklim investasi di Batam pasalnya aturan FTZ yang ada saat ini masih membebani pengusaha. Namun, implementasinya yang dinilai terlalu terburu buru akan menimbulkan keresahan di kalangan pengusaha.

Padahal, pengusaha di Batam saat ini masih mengalami tekanan akibat anjloknya order yang diterima akibat dampak krisis keuangan global.

Apindo sendiri kata dia berharap pemerintah pusat tetap memberlakukan status FTZ bagi Batam namun beberapa aturannya harus diperbaiki, khususnya aturan soal kepabeanan.

Untuk itu, pemerintah diharapkan segera merevisi PP no 2 tahun 2009 karena peraturan itu dinilai sebagai penghalang utama dalam pelaksanaan FTZ. Aturan itu juga dinilai bertentangan dengan UU no 36 tahun 2006 yang menjadi payung hukum FTZ BBK (Batam, Bintan dan Karimun).

Salah satu aturan yang harus direvisi dalam PP no 36 tahun 2006 tersebut adalah kewenangan Dewan Kawasan (DK). Dalam aturan yang ada saat ini DK hanya sebagai pajangan dan tidak memiliki kewenangan apapun seperti mengeluarkan aturan untuk memaksimalkan status FTZ tersebut.

“Dalam aturan yang ada saat ini, posisi DK dikebiri dan hanya menjadi pajangan padahal fungsinya sangat vital untuk mengembangkan kawasan FTZ,” kata dia kepada Koran Jakarta, Kamis (18/11).

Sementara itu, Dewan Kehormatan Apindo Kepri yang juga Direktur PT Satnusa Persada Abidin Hasibuan mengatakan, pihaknya memang mendengar adanya rencana Menteri Perindustrian MS Hidayat yang akan mengganti status Batam dari FTZ menjadi KEK, dan hal itu sudah menimbulkan keresahan dikalangan pengusaha.

Abidin kuatir, rencana itu justru akan menjadi penghalang bagi implemtasi FTZ BBK, karena status FTZ saja baru diresmikan pemerintah April lalu dan sudah harus diganti kembali, sehingga akan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Menurut Abidin, iklim investasi di Batam saat ini sudah berjalan baik dan akan meningkat signifikan bila aturan FTZ yang membebani pengusaha segera direvisi. Selain itu, hambatan birokrasi di daerah juga mesti dihapus, pasalnya saat ini pemerintah kota Batam justru sedang membuat aturan daerah soal retribusi yang dianggap bakal membebani pengusaha.

Padahal kata Abidin, Kota Batam memiliki potensi yang cukup besar untuk bisa sejajar dengan kota besar lainnya di Asia seperti Hongkong, Vietnam dan Singapura namun sampai saat ini belum dikelola secara baik. (gus).

Tidak ada komentar: