Selasa, 24 November 2009

Ekspansi PT Eterindo Wahanatama Tbk Terganjal Kebijakan Pemerintah

BATAM – Perusahaan perdagangan dan distribusi produk kimia yang telah beralih ke bisnis biodiesel PT Eterindo Wahanatama Tbk diketahui telah mengurangi produksi Biodieselnya hingga 90 persen menjadi hanya 24.000 metrik ton (mt) per tahun dari 240.000 mt per tahun disebabkan rendahnya harga jual yang dipicu kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada industri Bahan Bakar Nabati (BBN).







Direktur Utama Eterindo Wahanatama Immanuel Sutarto kepada Koran Jakarta mengatakan, perseroan saat ini memiliki kapasitas produksi Biodiesel lebih dari 240.000 metrik ton pertahun yang diproduksi dari pabrik di Cikupa dan Gressik. Total produksi pada 2005 hampir maksimal yakni 240.000 metrik ton pertahun karena pada saat itu banyak permintaan dari dalam negeri untuk kebutuhan Pertamina dan permintaan ekspor dari USA , Eropa dan Australia .

“Produksi Biodiesel kami saat ini hanya 10 persen dari kapasitas produksi yang mencapai 240.000 metrik ton per tahun karena harga jual rendah akibat kebijakan pemerintah yang dinilai kurang berpihak pada pengembangan industri BBN,” kata dia, Selasa (24/11).

Namun, sejak tahun lalu, pihaknya hanya memproduksi Biodiesel 10 persen dari kapasitas produksi yang ada yakni sekitar 24.000 metrik ton karena harga yang ditawarkan Pemerintah atau Pertamina sebagai pembeli siaga dibawah harga keekonomian. Rendahnya harga yang ditawarkan pemerintah tersebut disebabkan patokan harga yang digunakan pemerintah menggunakan patokan harga bahan baker fosil padahal mestinya pemerintah menggunakan patokan harga bahan bakar nabati.

Akibatnya, kata dia, harga yang ditawarkan pemerintah dibawah harga produksi sehingga perseroan terpaksa mengurangi jumlah produksinya sampai ada kebijakan baru dari pemerintah soal harga BBN.

Polemik soal harga Biodiesel tersebut menyebabkan rencana ekspansi usaha untuk membangun pabrik biodiesel dan pengembangan dari pabrik yang sudah ada ditunda.

Perseroan juga kata dia, akhirnya berkonsentrasi pada bisnis lama yakni distribusi produk kimia, padahal sejak 2008 lalu perseroan ingin fokus di bisnis Biodiesel. Dampaknya kinerja penjualan perusahaan hingga September 2009 meskipun naik tipis namun jumlahnya tidak terlalu besar.

Perseroan membukukan nilai penjualan 552,9 miliar rupiah hingga September 2009, naik 6,1 persen dibanding periode sama tahun lalu yang hanya 521 miliar rupiah dengan laba bersih 18,1 miliar rupiah turun 12,1 persen dibanding periode sama tahun lalu yang 20,6 miliar rupiah.


Kebijakan Pemerintah

Sementara itu, Sekjen Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Paulus Tjakrawan ketika dikonfirmasi Koran Jakarta mengatakan, industri Biodiesel Indonesia saat ini dinilai sedang mati suri.

Perusahaan Biodiesel, kata dia tidak hanya mengurangi produksi tapi sejak dua tahun lalu sudah banyak yang menutup usahanya yakni sekitar 20 perusahaan, disebabkan kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada pengembangan industri bahan baker nabati (BBN). Ironisnya, pemerintah sendiri sangat berkomitmen pada pengembangan industri itu, namun realisasi dilapangan justru menghantam perusahaan biodiesel.

Hal itu, katanya bisa terlihat dari harga yang ditawarkan pemerintah dalam hal ini Pertamina yang jauh dibawah harga keekonomian. Pasalnya, Pertamina menggunakan patokan harga bahan baker fosil untuk menentukan harga Biodiesel, bukan patokan harga BBN. Akibatnya, harga yang ditawarkan Pertamina jauh dibawah harga produksi.

Sebagai contoh kata dia, patokan harga bahan bakar fosil jenis solar 634 dollar AS per ton sedangkan harga BBN sejumlah 810 dollar AS per ton.

Pertamina, nantinya akan membeli Biodiesel menggunakan patokan harga solar tersebut bukan patokan harga BBN, sehingga perusahaan mengalami kerugian.

Padahal, kata Paulus potensi pengembangan industri Biodiesel di Indonesia cukup prospektif namun, bila tidak ada keberpihakan dari pemerintah maka industri tersebut akan kolaps. Jumlah kapasitas produksi Biodiesel Indonesia saja saat ini sekitar 3,2 juta kilo liter per bulan, dan saat ini produksinya hanya 100 kilo liter perbulan.

Oleh karena itu, menurut Paulus bila pemerintah memang berkomitmen ingin mengembangkan industri BBN maka keberpihakan terhadap pengembangannya perlu direalisasikan secara nyata dalam bentuk program dan keinginan untuk membeli seluruh hasil produksi yang dihasilkan perusahaan. (gus).

Tidak ada komentar: