Selasa, 13 April 2010

Produsen Kertas Tisu Operasikan Mesin Pengolah Kertas Bekas Senilai USD6 Juta

JAKARTA – Produsen kertas tisu berbasis di Surabaya, PT Suparma Tbk akan mengoperasikan mesin pengolah kertas bekas atau deinking pulp machien (DIP Machine) senilai 6 juta dollar AS pada Mei ini untuk menekan biaya produksi agar pendapatan dan laba naik. Perusahaan itu menargetkan nilai penjualan 1,1 triliun rupiah pada tahun ini, lebih tinggi dari 2009 yang 1,02 triliun rupiah.




Direktur Suparma tbk, Hendro Luhur mengatakan, pihaknya telah menyelesaikan pembangunan instalasi deinking pulp machien (DIP Machine) yang dikerjakan 2009 lalu, dan akan dioperasikan pada Mei 2010 ini. Dengan demikian, ketergantungan bahan baku bubur kertas (pulp) impor akan dikurangi sehingga akan ada efisiensi biaya produksi sekitar 35-40 persen, karena harga bahan baku pulp dari kertas bekas lebih murah dibanding virgin pulp (pulp yang berasal dari kulit kayu).

“Kami akan terus mengurangi ketergantungan pada bahan baku pulp impor karena harganya sangat fluktuatif oleh karena itu pengoperasian mesin pengolah kertas bekas pada Mei ini akan meningkatkan efisiensi,” katanya kepada Koran Jakarta, Senin (12/4).

DIP Machine adalah mesin pengolah kertas bekas menjadi bahan baku produksi berupa deinking pulp sehingga ketergantungan pada virgin pulp yang selama ini menjadi bahan baku berkurang sekitar 8-15 persen.

Menurut Hendro, ketergantungan pada Virgin Pulp impor tersebut akan terus dikurangi dan rencananya tahun depan juga akan beroperasi kembali satu unit mesin pengolah kertas bekas. Untuk itu, perseroan telah mengalokasikan belanja modal sekitar 5 juta dollar AS atau sekitar 50 miliar rupiah dengan kurs 10.000 rupiah per dollar AS pada tahun ini yang akan digunakan untuk membeli kembali mesin tersebut. Dana belanja modal itu akan diambil dari kas internal karena perusahaan dinilai memiliki dana yang cukup sehingg tidak perlu mencari pembiayaan dari luar.

Menurut Hendoro, meskipun bahan baku berasal dari kertas bekas namun secara kualitas tidak akan mempengaruhi produksi. Perseroan sendiri saat ini memproduksi kertas tisu, kertas laminating dan kertas untuk pengepakan. Hasil produksi tersebut sebagian besar atau 85 persen dijual di dalam negeri dan 15 persen ekspor.

Minimnya penjualan ekspor, kata dia disebabkan permintaan dari dalam negeri cukup tinggi disamping itu margin penjualan di dalam negeri lebih tinggi dibanding penjualan ekspor, sebab penjualan ekspor membutuhkan biaya tambahan seperti biaya transportasi, pengurusan dokumen, keagenan dan lainnya.

Tingginya penjualan dalam negeri, menyebabkan perseroan berhasil membukukan laba bersih cukup tinggi pada kinerja 2009, padahal perusahaan kertas lainnya yang mengandalkan ekspor terpuruk disebabkan kondisi pasar global yang tertekan akibat dampak krisis yang terjadi di 2008.

Perseroan membukukan laba bersih 26,9 miliar rupiah pada 2009 naik 88,1 persen dibanding 2008 yang 14,3 miliar rupiah. Sementara itu, nilai penjualan 1,02 triliun rupiah turun tipis (1,92 persen) dibanding 2008 yang 1,04 triliun rupiah.

Terkait dengan kinerja 2010 ini, kata Hendro pihaknya menargetkan penjualan sedikit lebih tinggi dibanding pencapaian 2009 yakni 1,1 triliiun rupiah. Target itu diperkirakan bisa dicapai seiring dengan membaiknya permintaan produk kertas, hal itu juga sejalan dengan perkiraan dari Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) yang memprediksi konsumsi per kapita kertas nasional bakal meningkat pada tahun ini.

Ketua Presidium APKI (Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia ) H. M. Mansur mengatakan, industri kertas nasional secara umum pada tahun ini akan mengalami pertumbuhan namun ada tantangan dengan adanya hambatan impor kertas bekas.

Menteri Perdagangan mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 39/2009 tanggal 2 September 2009 (BN No. 7857 Hai 7B-14B) tentang ketentuan impor limbah non-B3 yang didalamnya terdapat impor kertas-bekas. Permendag 39/2009 merupakan perbaikan dari Permendag No. 41/2008 (BNNo. 7737Hdl. 15B-20B) tanggal 31 Oktober 2008. Dalam peraturan itu Impor kertas-bekas harus disetujui Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) suatu hal yang tidak pernah ada dalam ketentuan sebelumnya.

Kemudian, impor kertas-bekas juga harus mendapat verifikasi teknis dari KSO (Kerjasama Operasi) Sucofindo-Surveyor Indonesia . Perusahaan importir kertas-bekas masih dapat menggunakan Surveyor Luar Negeri (SLN), dengan syarat SLN tersebut mendapat persetujuan KSO. Setiap Laporan Surveyor (LS) dari SLN harus disampaikan ke KSO sebagai persyaratan impor kertas-bekas, dan perusahaan importir kertas-bekas harus membayar USD60 per LS atau USD60 per shipment.

Peraturan itu, kata Mansur akan menekan industri kertas nasional karena rumitnya untuk mengimpor kertas bekas selain itu ongkos yang harus dibayar dalam setiap transaksi juga akan memperbesar biaya produksi. Padahal, kebutuhan kertas bekas dalam negeri cukup besar mencapai ribuan ton setiap tahunnya. (gus).

Tidak ada komentar: