Selasa, 13 April 2010

Pro Investasi atau Ekosistem

Pulau Batam hanya memiliki luas 41.500 hektare yang harus dibagi-bagi untuk kawasan industri, hutan lindung dan pemukiman. Seiring dengan geliat ekonomi sebagai dampak masuknya pemilik modal menyebabkan kawasan hutan lindung di daerah ini terdesak dan kian mengecil, dan itu terjadi hingga saat ini yang menuntut pemerintah pusat untuk mengambil sikap tegas apakah pro pada investasi atau pada ekosistem.




Gubenur Kepulauan Riau, Ismeth Abdullah mengatakan paska pemberlakuan status kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas pada April 2009 lalu, arus investasi ke Batam diperkirakan bakal melonjak.

Pada 2009 saja jumlah jumlah Penanaman Modal Asing (PMA) yang masuk di Provinsi Kepri dan mayoritas di Batam sebanyak 1.290 PMA dengan investasi 12 miliar dollar AS. Dari jumlah itu, yang masuk sebagai Foreign Direct Investment (FDI) sebanyak 92 proyek dengan total investasi 2,0 miliar dollar AS.

Sementara itu, jumlah tenaga kerja yang berhasil diserap di kawasan FTZ BBK sebanyak 675 ribu orang, sedangkan di Provinsi Kepri secara keseluruhan mencapai 1,4 juta orang.

Tabel : Foreign Direct Investment
Foreign Investment
No Year Approval Realization
Number of Projects Total Investment (US$) Number of Projects

Total Investment (US$)
1 2005 99 192,86 40 150,19
2 2006 125 503,56 46 94,09
3 2007 115 10.274,32 28 50,54
4 2008 81 299,96 64 215,49

Untuk tahun 2010 ini nilai investasi yang ditargetkan di FTZ BBK sejumlah 5 miliar dollar AS, setara dengan 50 triliun rupiah dengan kurs 10.000 rupiah per dollar AS.
Pesatnya pertumbuhan investasi di Batam kian menuntut ketersediaan lahan, sehingga penyebarannya diperlukan hingga ke Pulau Rempang dan Galang.

Humas Otorita Batam Dwi Joko Wiwoho mengatakan lahan di Pulau Batam sudah habis dan pemerintah saat ini akan mendorong pengembangan investasi di Pulau Rempang dan Galang, namun terbentur dengan status lahan di dua pulau itu yang masih berstatus sebagai hutan lindung.

Minimnya keberadaan lahan komersil di Batam menyebabkan investor harus berebut mendapatkan jatah alokasi sehingga sering terjadi tumpang tindih status lahan yang ada dan malah kebijakan pemerintah daerah menyalahi aturan, dimana hutan lindung dialokasikan untuk kawasan komersil padahal belum mendapat persetujuan dari Departemen Kehutanan.

Kondisi itu menyebabkan luasan hutan lindung di Batam kian mengecil, Jika pada 2001, luas peruntukan kawasan hutan lindung di Kota Batam 15.982,06 hektar, maka pada 2004 menjadi hanya 8.797,51 ha, dan jumlah itu terus mengalami penyusutan.

Anggota DPRD Kota Batam Asmin Patros kepada Koran Jakarta mengatakan, polemik soal status lahan di Batam kian meresahkan masyarakat dan investor sehingga dikuatirkan investor tidak jadi merealisasikan investasinya.

Oleh karena itu, pemerintah mesti mengambil sikap tegas menyangkut soal lahan di Batam, karena ada masyarakat dan investor yang dirugikan.
Anggota DPR RI Harry Azhar Azis mengatakan, lembaga pemerintah yang mengalokasikan lahan kepada investor yang masih berstatus hutan lindung harus bertanggung jawab dan secara hukum bisa dipidanakan.

“Otorita Batam atau Badan Pertanahan Nasional yang telah mengalokasikan lahan kepada investor padahal lahan itu merupakan hutan lindung harus bertanggung jawab secara hukum dan bisa dipidanakan,” katanya.

Terkait dengan lahan di Batam juga, Harry mengatakan DPR telah meminta Menteri Keuangan untuk menjelaskan soal pajak tanah di Batam atau yang dikenal dengan Uang Wajib Tahunan Otorita Batam (UWTO).

Menurut dia, status lahan di Batam berbeda dengan daerah lain di Indonesia, lahan di Batam hanya memiliki hak sewa guna bukan hak pribadi, dan setiap orang atau investor yang memiliki lahan di Batam hanya memiliki hak penggunaan 30 tahun dan selama itu harus membayar UWTO yang besarannya tergantung dari lokasi.

Menurut Harry sejak Otorita Batam berdiri sampai saat ini, tidak ada penjelasan secara rinci tentang penggunaan serta jumlah UWTO tersebut sehingga pihaknya akan mempertanyakan dengan Menteri Keuangan tentang pajak tanh itu.

Kepala Pusat Informasi Departemen Kehutanan, Masyud mengatakan, tidak mudah bagi pemerintah (Departemen Kehutanan) mengalihfungsikan kawasan hutan lindung menjadi komersil.

Misalnya kasus yang terjadi di Batam dimana Otorita Batam telah mengalokasikan lahan kepada investor dimana lahan itu masih berstatus hutan lindung, maka Otorita Batam harus bertanggung jawab, dan Departemen Kehutanan sendiri tidak akan memutihkan lahan yang telah dikelola investor itu karena tidak ada aturannya.

Ketua Apindo Kepri, Ir Cahya mengatakan, kisruh tentang status lahan di Batam sudah memperkeruh iklim investasi di Batam dan sejumlah investor bahkan telah mulai ragu untuk menanamkan investasinya karena harus melalui proses yang lebih panjang, misalnya harus mempertanyakan kembali ke Departemen Kehutanan terkait status lahan, meskipun Otorita Batam telah mengalokasikannya, karena banyak kasus terjadi dimana Otorita Batam telah mengalokasikan lahan ke investor ternyata setelah dilakukan pembangunan lahan itu merupakan hutan lindung.

Oleh karena itu, Apindo Kepri akan menyurati Presiden terkait polemik status lahan di Batam karena bila hal itu berlarut larut akan menyebabkan penurunan investasi di Batam.

Menurut Cahya, pertumbuhan investasi di Batam yang sangat cepat membutuhkan ketersediaan lahan, sehingga pemerintah dituntut untuk mengambil sikap tegas apakah berpihak pada investasi atau lingkungan.

Lahan di Batam saat ini sudah habis dialokasikan untuk investor sehingga dibutuhkan penyebaran investasi ke Pulau Rempang dan Galang, namun masih belum jelasnya status lahan di dua pulau itu menyebabkan minat investor itu harus ditunda.

Padahal, Pemerintah sewaktu jaman Ketua Otorita Batam BJ Habibie telah membangun infrastruktur bernilai miliaran rupiah untuk membangun jembatan yang menghubungkan Pulau Batam, Rempang dan Galang dan investasi miliaran rupiah itu akhirnya tidak berarti apa apa, karena pulau tersebut tidak bisa dilakukan pembangunan. (gus).

Tidak ada komentar: