Kamis, 22 Juli 2010

Potret Etnis Melayu Kepulaun Riau

Kehidupan masyarakat Melayu di Provinsi Kepulauan Riau tak terlepas dari pantun, seni tari dan profesi sebagai nelayan. Namun, seiring dengan pertumbuhan ekonomi serta derasnya budaya asing yang masuk ke daerah yang dikenal sebagai bumi segantang lada itu, budaya serta profesi lokal bergeser dan perlahan mulai tergantikan.



Sebagaimana terlihat pada peta, Kepulauan Riau memang merupakan bagian yang secara historis menyatu dengan perkembangan kawasan-kawasan di selat Malaka selama berabad abad silam.

Di daerah itu, terdapat Pulau Bintan yang pada abad ke 13 di datangi Sri Tribuana dari bukit Siguntang, dekat Palembang . Dari pulau inilah peradaban Melayu di Selat Malaka berkembang seiring dengan penemuan Temasik (Singapura), kemudian menumbuhkan Kerajaan Melaka yang Berjaya menjadi kerajaan dan pusat perniagaan di Nusantara pada abad ke 14-15 M.

Setelah Melaka runtuh, pusat kerajaan penerusnya berpindah pindah, berturut-turut ke hulu Riau, Johor, Kampar, kembali lagi ke Johor lalu ke Kota Piring atau Pulau Bintan.

Pertalian budaya yang sudah terjadi pada masa lampau antara etnis Melayu Kepulauan Riau atau Sumatra dan Etnis Melayu di Semenanjung Melaka serta Singapura, sampai saat ini masih tetap terjadi meskipun secara ekonomi dan politik kehidupan mereka dipisahkan oleh batas batas negara.

Etnis Melayu di Semenanjung Melaka dan Singapura saat ini boleh dikatakan hidup dalam berkecukupan, bertolak belakang dengan kehidupan saudaranya di Kepulauan Riau, terlebih yang berada di Hinterland atau pulau pulau kecil yang banyak tersebar di Kepri yang hidup dalam kekurangan.

Kepulauan Riau, baru berdiri sebagai satu Provinsi pada 1 Juli 2004 yang ditetapkan Pemerintah RI melalui UU 25 tahun 2002 yang menjadikan daerah ini sebagai Provinsi ke 32 RI. Wilayah itu membentang seluas 252.000 kilometer persegi dan 95 persennya adalah lautan dan terdiri dari 2.408 pulau yang tercatat secara resmi.

Sebagian besar masyarakat Kepri, bermatapencaharian sebagai nelayan, itu di dukung oleh luasnya laut yang dimiliki wilayah tersebut, dan profesi itu sudah digeluti sejak ratusan tahun lalu.

Sayangnya, Profesi Nelayan kini tak mampu lagi menghidupi masyarakat Kepulauan Riau disebabkan makin sulitnya mencari ikan dan hasil laut lainnya, padahal harga bahan baker solar terus merangkak naik, sehingga pendapatan yang diterima nelayan sekali melaut sering tidak cukup untuk menutupi biaya membeli solar.

Makin menipisnya hasil tangkapan nelayan disebabkan, laut Kepri mulai tercemar. Itu tidak dapat terhindarkan sebagai dampak dari pembangunan atau pertumbuhan ekonomi.

Betapa tidak.. di sepanjang pinggir laut wilayah Kepri yang dulu banyak ditumbuhi tanaman bakau, kini berganti dengan pabrik galangan kapal. Operasional pabrik galangan kapal itu, telah secara langsung maupun tidak langsung mencemari laut Kepri, karena limbah bahan baker atau oil ludge, serta limbah besi dan sisa pengecatan kapal dengan mudahnya dibuang ke laut.

Ja’far, nelayan dari Pulau Bulang mengatakan, masyarakat Kepri sebenarnya tidak anti dengan pembangunan terlebih itu dilakukan untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja. Namun, jika pembangunan dijadikan alasan untuk menghilangkan kearifan lokal, maka warga akan protes. Sebab, sumber matapencahariannya sudah terganggu, dan bagaimana mungkin mereka bisa menghidupi keluarganya.

Oleh karenanya, kata Ja’far, sebagian besar warga Melayu di Hinterland kini sudah mengantungkan jaringnya dan beralih profesi. Sebagian warga yang punya pendidikan bisa menjadi buruh pabrik dengan gaji pas pasan, dan sebagian lagi yang tidak punya pendidikan terpaksa menjadi pencari besi bekas yang menjadi limbah dari perusahaan galangan kapal tersebut, dan banyak juga yang menganggur.

Ahmad Dahlan, Walikota Batam mengatakan, memang tidak seluruh masyarakat Kepri yang beruntung dan hidup berkecukupan, terlebih bagi warga yang tinggal di Hinterland atua pulau pulau kecil di sekitar Batam. Itu disebabkan minimnya infrastruktur dan sulitnya menjangkau wilayah tersebut sehingga banyak pulau yang kurang tersentuh pembangunan.

Selain itu, pendidikan masyarakat yang tinggal di Hinterland juga sangat minim sehingga kurang mampu bersaing dengan warga pendatang. Oleh karena itu, lapangan kerja bagi warga melayu di Hinterland sangat terbatas.

Selain profesi sebagai nelayan yang menjadi tulang punggung bagi sebagian besar masyarakat Melayu di Kepri, Potret Melayu dari daeran itu juga tidak terlepas dari kehidupan berkesenian seperti seni tari dan berpantun.

Wilayah itu bahkan pernah melahirkan beberapa penulis besar yang menghasilkan karya besar bagi peradapan manusia. Sebut saja seperti Raja Ali Haji (1809-1873 M) melalui karyanya tentang Silsilah Melayu dan Bugis serta Tuhfat al-Nafis telah melambungkan namanya menjadi sejarawan penting Etnis Melayu, tidak saja di Nusantara tapi di Semenanjung Malaka, Singapura bahkan Brunai Darusalam.

Selain itu, ada juga penyair wanita yang cukup tersohor yakni Khadijah Terung yang melahirkan karya-karya besar yang variatif, tidak hanya mewakili karya sastra di bidang kebahasaan, namun juga memiliki muatan religius, filsafat, kenegaraan hingga ke soal seksualitas. Karya-karya besar itu, antara lain Syair Siti Shianah, Syair Awai dan Gurindam Dua Belas. Selain itu, Khadijah juga membuat karya berjudul Kumpulan Gunawan, yang menceritakan tentang hubungan seksual suami isteri.

Seorang nelayan bernama Encik Abdullah pada 1902 juga menulis tentang Buku Perkawinan Penduduk Penyengat.

Tokoh masyarakat Kepri, Huzrin Hood mengatakan, kehidupan berkesenian seperti bersyair dan berpantun sudah sangat melekat bagi sebagian besar masyarakat Kepri. Dahulu bahkan terdapat satu pulau yakni Pulau Penyengat yang menjadi tempat tumbuhnya kehidupan intelektualitas warga Kepri dalam berkesenian. Berbagai buah pikiran konstruktif yang dimaktubkan secara mutidimensi terlahir dari pulau Penyengat yang kini tampak lusuh tersebut.

Melekatnya kehidupan berkesenian warga Kepri itu tercermin dari sikap warganya, khususnya pejabat pemerintah yang selalu menyelipkan pantun dalam setiap kata pembukaan pidato maupun penutup pidatonya.

“kalau tak ada pantun dalam pembukaan dan penutup pidato, rasanya belum lengkap,” kata dia.

Namun, lain halnya bagi generasi muda di Kepri yang sudah hampir melupakan bagimana cara membuat pantun serta bagaimana rupa tarian tradisional seperti Japin dan Serampang 12.

Tarian itu, kini hanya terpaku dalam elitnya suasana festival kesenian di Batam maupun di Senayang selepas itu sudah, dan generasi muda di bumi Segantang Lada ini kembali disibukkan oleh gengsi menjadi dancer bahkan dangduter yang mahir meliukkan tubuh.

Dari segi lagu daerah jangan harap lagi bisa mendengarkan Anak ayam atau Pulau Bintan di alun-alun kota Tanjung Pinang karena lagu seperti itu hanya bisa di dengarkan di acara pesta perkawinan yang penikmatnya adalah orang tua, dan ketika hari semakin larut, muda mudi etnis Melayu menganti lagu daerah itu dengan lagu-lagu Brand New ala New York, Washington atau house musik, yang membuat mereka lupa lagu daerah sendiri dan kalaupun ingat mereka gengsi menyanyikanya Karena lagu Melayu salah diartikan, seolah-olah lagu-lagu Melayu itu hanya milik orang-orang tua. (gus).

Tidak ada komentar: