Kamis, 22 Juli 2010

Kehidupan Kami Sekarang Lebih Susah

..“Dulu kami bisa menjual hasil tangkapan seperti ikan, kerang, udang dan kepiting selepas melaut langsung ke Singapura karena jarak Kecamatan Belakang Padang dan Singapura sangat dekat sehingga pendapatan yang diperoleh cukup banyak dan bisa menghidupi keluarga, tapi sekarang tak boleh lagi menjual langsung hasil tangkapan ke Singapura sehingga kehidupan kami menjadi lebih susah”.



Dari Batam untuk mencapai Kecamatan Belakang Padang yang konon merupakan kota yang menjadi cikal bakal berdirinya Kota Batam cukup mudah. Ada pelabuhan rakyat di samping pelabuhan Domestik Sekupang, dan perahu menuju Belakang Padang juga cukup tersedia dan hampir setiap jam perahu tersebut berangkat.

Ongkosnya hanya 10.000 rupiah per orang dan perahu yang tersedia hanya memuat sekitar 10 orang sehingga cukup leluasa bagi penumpang untuk menikmati pemandangan laut. Sekitar 1 jam, perahu merapat di pelabuhan rakyat Kecamatan Belakang Padang dan dari tempat itu sudah mulai terlihat kehidupan warganya.

Jangan berharap bisa menikmati pemandangan kota Belakang Padang dengan kendaraan roda empat atau mobil, karena di tempat itu hampir tidak ada sama sekali mobil atau kendaraan roda empat dan sarana transportasi yang tersedia hanya motor dan becak.

Meski Becak menjadi sarana transportasi umum yang utama di daerah itu, namun bukan berarti mata pencaharian sebagian besar penduduknya tukang becak, karena profesi nelayan masih menjadi tumpuan bagi warga Belakang Padang.

Seorang nelayan Samsul (50) mengatakan, dia sudah sejak muda melaut dan itu masih dijalani sampai saat ini. Namun, profesi itu sudah tidak lagi menjadi tumpuan hidup bagi keluarganya karena hasil tangkapan yang semakin menipis, selain itu harga jual ikan dan hasil laut juga rendah sehingga kadang dia malah justru rugi karena pendapatan yang diterima tidak sesuai dengan biaya untuk membeli solar perahunya.

Oleh karena itu, sekali waktu Samsul juga menjadi tukang becak untuk menutupi kebutuhan ekonomi keluarganya.

Diceritakan, ketika tahun 70-an sampai 90-an kehidupan ekonomi keluarganya serba berkecukupan, karena pendapatan dari melaut sudah cukup untuk menghidupi dirinya dan orang tuanya. Kala itu, hasil tangkapan masih cukup banyak dan dia juga bisa menjual hasil tangkapannya ke Singapura dengan harga cukup tinggi.

“Dahulu tidak ada petugas pemerintah sehingga kami bisa leluasa menjual ikan ke Singapura,” katanya. Terlebih jarak Belakang Padang dan Singapura cukup dekat yakni hanya 35 sampai 45 menit perjalanan dengan perahu biasa.

Namun, sejak 10 terakhir ini aparat pemerintah semakin banyak di laut sehingga Samsul tidak dapat lagi menjual langsung hasil tangkapannya ke Singapura karena kalau ditangkap dituduh sebagai penyelundup.

Pernah satu kali di tahun 2000, Samsul memberanikan diri untuk menjual hasil tangkapannya langsung ke Singapura, dia harus kucing kucingan dengan petugas pemerintah RI, namun apes baginya, ditengah laut ketangkap sama personil TNI AL dan dia beserta perahunya ditahan.

Sejak itu, Samsul tak berani menjual hasil tangkapannya ke Singapura, sehingga kehidupan ekonomi keluarganya yang sudah punya tiga orang anak semakin susah.

Kondisi itu, kata dia tidak akan terjadi jika Pemerintah daerah mau menyediakan pasar lelang ikan seperti di Singapura sehingga nelayan bisa menjual hasil tangkapannya dengan harga tinggi sesuai harga lelang.

Pemerintah daerah menurutnya seolah tidak peduli dengan nasib nelayan sehingga nelayan harus menjual hasil tangkapannya ke tengkulak dengan harga rendah karena sebagian besar nelayan tidak punya daya tawar yang kuat dengan tengkulak tersebut, terlebih bagi nelayan yang sudah punya hutang terlebih dahulu dengan tengkulak. (gus).

Tidak ada komentar: