Jumat, 23 Juli 2010

Kehidupan Nelayan Kepri Terancam

BATAM – Kehidupan masyarakat Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) yang berprofesi sebagai nelayan kian terjepit seiring makin sulitnya mendapatkan hasil laut seperti ikan, kepiting dan udang disebabkan laut mulai tercemar.



Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Bintan Provinsi Kepri, Baini mengatakan, perekonomian warga Kepri yang berprofesi sebagai nelayan kian terjepit karena hasil tangkapannya kian menyusut, padahal biaya produksi khususnya untuk membeli bahan baker solar terus meningkat.

Akibatnya, banyak warga yang beralih profesi dari nelayan menjadi pekerja lainnya seperti buruh dengan gaji pas pasan.

Kian menyusutnya hasil tangkapan, kata dia disebabkan laut Kepri sudah tercemar sehingga biota laut mulai menyingkir dari perairan Kepri. Pencemaran laut di Kepri banyak dilakukan oleh perusahaan pertambangan dan galangan kapal.

Misalnya, di Kabupaten Bintan, pencemaran laut terjadi disebabkan aktivitas pertambangan PT Gunung Sion yang melakukan penambangan bauksit. Perusahaan itu disinyalir dengan sengaja membuang limbah produksinya langsung ke laut menyebabkan perairan di sekitar perusahaan itu tercemar.

Kian menyusutnya hasil tangkapan nelayan juga dipengaruhi oleh semakin dangkalnya perairan di sekitar pantai khususnya di sekitar areal yang dulunya banyak ditanami pohon bakau. Itu disebabkan, banyaknya aktivitas perambahan pohon bakau oleh orang tak bertanggung jawab untuk dijadikan arang dan akibat aktivitas penambangan pasir.

Akibatnya, kehidupan biota seperti ketam-ketam, udang dan gonggong yang biasa menjadi tangkapan para nelayan makin langka didapatkan, karena perairan tempat mereka hidup kian dangkal.

Seorang nelayan di Bintan, Razak mengatakan semakin sulit mendapatkan hasil tangkapan seperti ketam, udang dan gong gong karena habitat mereka telah tercemar. Akibatnya dia selalu merugi setiap melaut disebabkan biaya produksi seperti untuk membeli bahan baker solar dan umpan tidak sebanding dengan pendapatan yang diterima.

Menurutnya, untuk mendapatkan ketam harus dipancing dengan umpan dari ikan pari yang harganya sekitar 8 ribu rupiah per kilo gram dan setiap melaut, Razak biasanya membawa 5 kilo gram umpan sehingga biaya untuk membeli umpan saja sekitar 40 ribu rupiah. Sementara itu, harga satu kilogram ketam besar dijual 40 ribu rupiah, sehingga jika biaya produksinya ditambah dengan biaya bahan bakar maka pihaknya akan merugi, terlebih untuk mendapatkan ketam saat ini cukup sulit.

"Kalau dihitung, satu kali melaut untuk umpan saja sekitar 40 ribu rupiah, ditambah lagi dengan biaya tenaga kerja dan BBM. Kalau dapat satu Kg ketam yang besar dijual seharga 40 ribu rupiah mak tdak balik modal, bahkan nombok. Parahnya lagi, kadang turun kelaut juga tak dapat ketam sama sekali," katanya.

Oleh karena itu, Razak dan nelayan lainnya berharap, pemerintah bisa menertibkan para penambang dan aksi liar orang tak bertanggung jawab yang merambah hutan bakau. Perusahaan pertambangan juga diminta bisa menjaga lingkungan khususnya sunga-sungai agar tidak tercemar, sebab sungai atau laut tersebut merupakan tempat mata pencarian nelayan kecil.

"Jika sangai atau laut sudah dangkal, nelayan tradisional seperti kami ini mau kemana lagi mencari nafkah, jadi tolong jangan cemari sungai dan laut,” katanya. (gus).


Tidak ada komentar: