Minggu, 22 Agustus 2010

Kisah si Anak Pulau

Nizar (15) sudah tak bersekolah lagi selepas tamat Sekolah Dasar di kampungnya di Patam Lestari Kota Batam. Hari-harinya kini membantu orang tuanya mencari ikan di laut yang berbatasan dengan Singapura.



Pagi itu, Nizar sudah mempersiapkan jaring dan perahu untuk mencari ikan bersama ayahnya, tak lupa makanan untuk disantap di perahu ketika siang menjelang.

Sampai di pelantar dekat rumahnya, Nizar langsung menuju perahu yang ditambat bersama dengan perahu nelayan lain tetangga rumahnya, lalu ayahnya mendayung perahu hingga ke tengah laut.

Sampai di tengah laut, jaring pun di lepas. Sambil menunggu ikan masuk ke dalam jarring, pandangan Nizar tertuju ke pulau sebelah dengan gedung pencakar langit yang megah dan bila malam menjelang kian menawan dengan lampu berwarna warni, sungguh kontras dengan pulau tempat tinggalnya.

Pulau itu adalah tumasik kata ayahnya, yang sekarang disebut Singapura. Ayah Nizar bertutur kalau dia dilahirkan di pulau itu, orang tuanya bahkan (kakek dan nenek Nizar) yang sudah wafat dimakamkan di sana.

Namun, ketika Imigran dari Cina mulai berdatangan ke pulau tersebut dan mulai menguasai perekonomian dan pemerintahan di Singapura, Ayah Nizar pun hijrah ke pulau lain hingga terdampar di Patam Lestari yang letaknya di pulau Batam.

Jejak ayah Nizar itu ternyata juga diikuti oleh banyak etnis Melayu Singapura lainnya yang hijrah ke banyak pulau yang ada di sekitar Provinsi Kepulauan Riau. Menurut Ayah Nizar itu disebabkan mereka tidak bisa bersaing dalam menjalankan bisnis dengan Etnis Tiong Hoa yang sudah menguasai perekonomian Singapura.

Bagi ayah Nizar, Kepulauan Riau juga Singapura adalah kampung halamannya karena daerah itu memang tempat kekuasaan kerajaan melayu pada jaman dahulu kala. Namun sejak berdirinya negara Singapura, Malaysia dan Indonesia sanak saudaranya mulai terpisah karena batas batas negara tersebut.

Ketika Nizar bertanya pada ayahnya tentang jiwa kebangsaanya, ayah Nizar mengatakan dia lebih memilih Indonesia. Meskipun dia tidak pernah membayangkan bagaimana rupa Jakarta yang menjadi ibukota negara Indonesia namun, dia bangga menjadi orang Indonesia.

Satu yang membuat bangga ayah Nizar menjadi orang Indonesia karena Indonesia adalah negara besar. Besar karena wilayahnya dan besar karena sejarahnya.

Tak terasa, perahu yang di tumpangin Nizar dan ayahnyapun berguncang dan ternyata jaring mereka telah dipenuhi oleh ikan ikan. Hingga sore menjelang, Nizar sudah memperoleh ikan cukup banyak dan ikan itupun langsung dijual ke pasar.

Ketika malam menjelang, Nizar duduk di teras rumahnya dan dari kejauhan terlihat jelas gedung pencakar langit dan lampu warna warni yang menghiasi gedung tersebut. Ya. Itu adalah Singapura yang diceritakan ayahnya tadi siang.

Nizar mengumpat, kenapa gedung gedung megah itu tidak berdiri juga di pulau tempatnya tinggal, padahal jaraknya sangat dekat. Seandainya gedung gedung itu ada di pulaunya juga pastilah kehidupan ekonomi warganya maju, sehingga tidak ada anak yang tidak sekolah seperti dirinya.

Ketika sedang asik termenung.. ayah Nizar menepuk pundak Nizar, diapun kaget. Seolah tahu yang dipikirkan Nizar, ayahnya berkata…. kita belum maju karena tidak pernah menghargai pahlawan yang telah mengorbankan nyawa dan hartanya untuk negara ini. (gus).

1 komentar:

Ranphrodite mengatakan...

Salam kenal mas Agus,

Dalam waktu dekat ini saya berencana untuk mengunjungi batam dan pulau-pulau terluar yang ada di kepulauan riau. Saya mohon informasi mengenai kehidupan masyarakat sana karena saya berniat untuk meliput kehidupan masyarakat Indonesia di pulau-pulau terluar. Kebetulan saya seorang jurnalis. Saya juga sangat tertarik dengan tulisan anda mengenai kisah anak pulau ini dan ingin sekali bertemu dengan tokoh yang ada dalam tulisan.
Jika tidak keberatan saya minta nomor kontak orang sana atau mungkin kontak mas agus sendiri utk berkomunikasi lebih lanjut.
Bisa dikirim ke email saya: rani.yuniarti@yahoo.com
Saya tunggu kabarnya.

Trims,
Rani Y.