Selasa, 08 Juni 2010

Butuh Cetak Biru Ekonomi Kelautan

Sebanyak 13,7 persen pulau di Indonesia berada di Provinsi Kepulauan Riau atau sekitar 2.408 pulau, daerah ini juga memiliki rasio luas laut lebih besar dibanding darat yakni 24 berbanding 1, dengan persentase 96 persen laut, sehingga pengembangan ekonomi yang dilakukan mestinya berbasis pada keluatan. Ironisnya sampai hari ini belum ada cetak biru pengembangan ekonomi kelautan yang mengakibatkan kebijakan yang dihasilkan dalam rangka pembangunan daerah sering menafikan potensi yang ada, yakni sektor kelautan.



Peneliti Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Batam, Ir Heri Muliono M.Sc dalam dialog menyoal Pengelolaan Batam Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dalam rangka Cetak Biru Pengembangan Ekonomi Kelautan Kepulauan Riau, Jumat (4/6) menjelaskan, dalam teori ekonomi dari mazab apapun dalam pengembangan suatu kawasan seyogyanya bertumpu pada kekuatan yang ada di daerah tersebut, sehingga kebijakan yang dikeluarkan regulator memberi ruang dan membuka jalan bagi pertumbuhan ekonomi yang berbasis pada kekuatan tersebut.

Namun, ironisnya sering kali pengambil kebijakan atau pemerintah mengambil paradigma yang berbeda yang tidak bertumpu pada kekuatan potensi ekonominya, sehingga pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak banyak dinikmati rakyat secara keseluruhan tapi hanya dinikmati sekelompok orang.

Kasus yang cukup menarik, kata dia terjadi di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Kepri merupakan kawasan secara geografis dan ekonomis memiliki potensi disektor kelautan, itu terlihat dari banyaknya pulau yang ada yakni 2.408 pulau atau sekitar 13,7 persen dari seluruh pulau yang ada di Indonesia dengan jumlah pulau terluar yang berbatasan dengan negara tetangga sebanyak 20 pulau serta memiliki luas wilayah laut 96 persen dibanding darat atau dengan rasio 24 berbanding 1. Daerah itu juga dilalui jalur pelayaran teramai di dunia yakni selat malaka dan dilintasi oleh jalur pelayaran intra-Malaysia (Semenanjung – Serawah/Sabah).

Kondisi itu, mestinya bisa menjadi fakta ekonomi bagi pemerintahan di daerah untuk mengembangkan ekonomi dengan basis kelautan, Sayangnya, pemerintah dinilai masih kurang peka dan tidak menjadikan sector kelauatan sebagai bisnis yang menguntungkan bagi masyarakat banyak. Bahkan, sampai hari ini Kepri masih belum memiliki cetak biru pengembangan ekonomi kelautan.

Cetak biru pengembangan ekonomi kelautan itu, kata Heri sangat penting agar pemerintah punya strategi, program dan langkah nyata dalam jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang untuk membangun daerahnya yang berbasis pada kelautan.

Dalam jangka pendek, kata dia pemerintah bisa mengembangkan industri inti dengan melibatkan dunia usaha, Bisnis inti tersebut nantinya akan memiliki jarring atau kaki tangan bagi pengembangan industri lainnya yang bertumpu pada bisnis inti yang berbasis pada sector kelautan tersebut.

Dari bisnis inti tersebut, nantinya akan tumbuh industri lain seperti industri pemasok bahan baku utama, bahan tambahan dan bahan pelengkap. Lalu tumbuh industri lainnya yang hubungannya terkait dengan barang dan jasa serta perusahaan pesaing atau kompetitor dan industri lainnya.

Dari bisnis inti itu juga nantinya akan tumbuh industri pendukung yang layanannya untuk memperkuat produktivitas kegiatan produksi, kemudian institusi hukum juga akan tumbuh yang berbasis pada bisnis inti tadi.

Dengan demikian, kata Heri, seluruh industri yang akan tumbuh di Kepri nantinya akan mengacu atau bersumber pada bisnis inti yang dikembangkan sedari awal tersebut.

Bisnis inti yang dimaksud misalnya industri pelayaran baik itu yang tradisional maupun pelayaran korporasi, atau industri perikanan tangkap. Untuk itu, pemerintah perlu membuat regulasi yang bisa memberi jalan kemudahan bagi pengembangan industri pelayaran dan perikanan di daerah. Kemudian industri pemasok misalnya industri galangan kapal, industri ekspedisi muatan kapal laut dan industri pendidikan yang mendorong petumbuhan industri galangan tersebut untuk menciptakan sumber daya manusia yang handal.

Industri pendukung yang dimaksud misalnya, industri pembiayaan, industri jasa, prasarana, peralatan dan pengemasan.

Dengan demikian seluruh industri yang akan tumbuh di Kepri nantinya akan bertumpu pada bisnis inti yang berbasis pada kekuatan ekonomi atau potensi yang memang dimiliki oleh daerah itu sendiri yakni sektor kelautan.

Ketua Bidang Kelautan, Pangan Agribisnis dan Agroindustri Kadin Provinsi Kepri yang juga pengusaha perikanan di Kepri, Steven Hadi Tanoto mengatakan, dia sudah 20 tahun lebih mengeluti bisnis perikanan di Kepri, dan sampai hari ini tidak banyak pengusaha yang mau menekuni industri tersebut, padahal potensinya cukup besar terlebih 96 persen wilayah Kepri adalah laut sehingga tidak akan terlalu sulit mendapatkan pasokan bahan baku.

Kondisi itu, kata Steven disebabkan banyak factor salah satunya belum ada kebijakan dari pemerintah yang berpihak pada industri kelauatan, misalnya dalam mencari pembiayaan dari bank sebagai modal untuk membeli kapal. Harga kapal, menurut dia sangat mahal, oleh karenanya pengusaha harus mencari pembiayaan lewat bank, namun tidak banyak bank sampai hari ini yang berani memberi kredit untuk pembelian kapal. Kalaupun ada perbankan yang memberi kredit, maka bunganya relatif tinggi hingga double digit atau sekitar 16 persen, padahal di negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia bunga kredit hanya sekitar 3-4 persen. Kondisi itu seolah olah dibiarkan pemerintah sehingga industri perikanan kurang berkembang.

Ironisnya, pada saat yang sama, pemerintah Indonesia juga banyak memberi ijin mencari ikan kepada nelayan asing yang dalam pencariannya menggunakan teknologi yang cukup canggih sehingga banyak nelayan dalam negeri yang kelimpungan karena hasil tangkapannya sedikit dibanding nelayan asing tersebut.

Selain itu, pemerintah juga tidak membangun teknologi untuk pengembangan industri perikanan, misalnya teknologi pengawetan ikan. Teknologi pengawetan ikan sangat dibutuhkan, karena ikan yang sudah tidak layak secara kualitas maka tidak akan memiliki harga lagi sehingga bisa merugikan pengusaha. Oleh karena itu, LIPI atau Lembaga Penelitian dan Pengembangan Indonesia perlu diberdayakan untuk menciptakan teknologi tersebut yang murah dan layak.

Selain itu, tiga faktor penting yang dibutuhkan industri perikanan dalam produksinya juga belum diperhatikan pemerintah, pertama soal benih, untuk industri perikanan yang pasarnya untuk pasar global maka benih yang sesuai standar sangat dibutuhkan dan itu masih jarang di Indonesia, kedua, tempat benih yang layak sesuai standar internasional, ini penting karena konsumen di berbagai negara maju sudah memasukan tempat benih yang sesuai standar sebagai syarat agar produksi ikan bisa masuk ke negara tersebut, itu untuk menghindari kontaminasi penyakit dari produksi tersebut. Ketiga, soal pakan atau makanan, faktor ini menjadi krusial karena pakan untuk jenis ikan tertentu sering berganti ganti untuk memenuhi syarat layak jual bagi negara maju. Misalnya untuk ikan tertentu seperti Kerapu yang dulunya diberi makan sembarangan, maka saat ini sudah harus di beri makan makanan khusus ikan tersebut agar bisa dipasarkan di pasar global.

Ketua Kadin Batam, Nada Faza Soraya mengatakan, pengembangan industri kelautan sangat luas cakupannya tidak hanya soal industri perikanan, tapi juga menyangkut industri pelayaran, pariwisata, budi daya dan lainnya. Oleh karena itu, pemerintah daerah seyogyanya memiliki cetak biru pengembangn industri kelautan agar bisa lebih fokus dalam membuat arah, strategi dan program bagi pengembangan industri tersebut.

Salah satu hal yang mesti diperhatikan oleh pemerintah juga hendaknya dalam waktu dekat ini harus menyediakan fasilitas cooling storage di bandara internasional Batam, agar pelaku industri perikanan bisa mengawetkan produksinya di pelabuhan sebelum di ekspor.

Selain itu, pemerintah pusat juga harus secepatnya mengeluarkan kebijakan soal penguasa di laut atau penjaga laut dan pantai (Sea and Coast Guard), yang sampai hari ini belum ada di Indonesia meskipun Indonesia adalah negara maritime, padahal negara lain seperti Singapura yang wilayah lautnya terbatas memiliki lembaga tersebut.

Tidak adanya lembaga itu, kata Nada menyebabkan banyak potensi ekonomi tidak tergali dan sering menimbulkan biaya ekonomi tinggi, karena setiap pengusaha pelayaran yang akan mengirim barang atau pengusaha perikanan yang sedang menangkap ikan sering dihentikan di tengah laut oleh banyak instansi yang masing masing instansi merasa punya wewenang untuk melakukan pemeriksaan yakni TNI AL, Kepolisian, Bea dan Cukai dan Syah Bandar. Padahal di negara lain, hanya ada satu lembaga yang berwenang melakukan pemeriksaan di tengah laut yang berkuasa atas kejadian di laut yakni Sea and Coast Guard atau penjaga laut dan pantai.

“Ketidakjelasan aturan tersebut, sering merugikan masyarakat dan pengusaha,” kata Nada. (gus).

Tidak ada komentar: