Manajemen Bank Pembangunan Daerah (BPD) harus merubah imej bahwa Bank milik Pemerintah Daerah itu kurang kompetitif sehingga sulit berkembang dan kurang kreatif karena terlalu mengandalkan dana dari Pemerintah Daerah.
Bank Pembangunan Daerah (BPD) memiliki potensi yang cukup besar menjadi pemain penting di pasar regional atau setidaknya menjadi juara di daerahnya sendiri karena sebagai bank milik pemerintah daerah, BPD memiliki pasar yang jelas dan tinggal dimaksimalkan agar bisa bersaing dengan bank konvensional.
Namun, faktanya kebanyakan BPD di Indonesia berjalan terseok seok dengan modal pas pasan.
Permodalan Bank Pembangunan Daerah (Data Bank Indonesia) saat ini rata rata baru 896,3 miliar rupiah masih jauh dibanding dengan modal rata rata Bank Umum yang 2,41 triliun rupiah.
Sebagian besar BPD di Indonesia mengalami persoalan dengan permodalan sehingga Bank milik pemerintah daerah itu sulit bersaing, padahal dengan modal yang kuat dapat meningkatkan sarana dan prasarana sehingga dapat melakukan penetrasi pasar dan ke depannya bisa lebih baik pertumbuhan bisnisnya.
Praktisi Perbankan Mira Herlina dalam analisanya menyebut tantangan penting bagi BPD pada tahun 2011 ini, yaitu perlunya memperkuat aspek permodalan dan perlunya melakukan redefinisi jati diri BPD.
Untuk aspek permodalan, saat ini modal inti BPD masih jauh di bawah rata-rata modal inti perbankan nasional. Itu berakibat pada terbatasnya ruang gerak BPD untuk berekspansi, khususnya dalam menjalankan misi sebagai bank pembangunan dengan domain pada pembiayaan infrastruktur berjangka panjang. Selain itu, terbatasnya modal juga berpotensi melemahkan ketahanan BPD dalam menghadapi persaingan dengan kelompok bank lainnya di daerah.
Bagi sebuah bank, aspek permodalan yang kuat begitu penting karena hal itu menjadi syarat utama untuk bisa eksis di tengah semakin ketatnya kompetisi bisnis bank saat ini. Selain itu,juga dalam rangka memenuhi berbagai persyaratan dasar baik Basel Capital Accord maupun Arsitektur Perbankan Indonesia.
Karena itu, semakin tinggi permodalan akan memberikan keleluasaan dalam menjalankan ekspansi dan penetrasi pasar. Dengan permodalan yang kuat juga memungkinkan bank melakukan financial engineering, yaitu teknik pengembangan produk-produk derivatif berdasarkan formulasi tertentu.
Untuk BPD yang notabene merupakan bank milik pemda, penguatan aspek permodalan bisa dilakukan melalui beberapa hal, misalnya dengan penerbitan obligasi berperingkat yunior dengan tenor lebih panjang (minimal lima tahun), kupon lebih tinggi, dan berbunga tetap (fixed rate).
Cara itu ditempuh beberapa BPD dan salah satunya dilakukan Bank Riau-Kepri yang akan menawarkan obligasi pada Juli ini.
Direktur Utama Bank Riau-Kepri, Erzon mengatakan, tidak mudah bagi BPD untuk meningkatkan
modalnya karena proses yang dibutuhkan cukup panjang, misalnya harus mendapat persetujuan Pemerintah daerah dan DPRD lalu harus ditetapkan dalam Bentuk Peraturan Daerah.
Meski demikian, Bank Riau-Kepri mencari alternatif penambahan modal dengan cara lain yakni melalui penawaran obligasi yang akan dilakukan Juli ini. Tujuan utama penawaran obligasi tersebut untuk meningkatkan nilai asset menjadi 15 triliun rupiah pada tahun 2011 ini lebih tinggi disbanding tahun lalu yang 13 triliun rupiah.
Sedangkan dana hasil obligasi akan digunakan seluruhnya untuk ekspansi kredit konsumer.
“Kami akan melakukan penawaran obligasi yang pertama pada Juli ini sesuai dengan rencana awal tahun. Target dana obligasi sejumlah 500 miliar rupiah yang seluruhnya akan digunakan untuk ekspansi kredit konsumer,” katanya kepada Koran Jakarta.0
Obligasi yang ditawarkan berjangka waktu lima tahun dengan imbal hasil 9,9 sampai 10,6 persen, dan saat ini perseroan masih menunggu hasil bookbuilding untuk bunga obligasi tersebut.
Menurut Erzon, pihaknya optimis obligasi bisa diserap pasar karena imbal hasil yang diberikan cukup menarik dan menguntungkan bagi investor, selain itu perseroan juga memiliki fundamental yang positif dan itu bisa dilihat dari rating yang diberi Fits Rating Indonesia untuk obligasi yang akan ditawarkan dengan peringkat A.
Untuk memuluskan rencana penawaran obligasi tersebut, kata Erzon telah ditunjuk PT Bahana Securities sebagai penjamin pelaksana emisi efek (underwritter) dengan wali amanat PT Bank Mega Tbk (MEGA).
Masa penawaran awal dilakukan pada 10-21 Juni 2011, dengan tanggal efektif diperkirakan pada 27 Juni. Sementara masa penawaran pada 30 Juni, 1 dan 4 Juli 2011. Obligasi tersebut akan dicatat di Bursa Efek Indonesia pada 11 Juli 2011.
Menurut Erzon, perseroan harus meningkatkan pertumbuhan kreditnya untuk memperbesar kapasitas perusahaan, saat ini angka kredit yang dikeluarkan Bank Riau-Kepri baru mencapai 7,4 triliun rupiah dan hingga akhir tahun ditargetkan mencapai 8,5 triliun rupiah.
Dengan pertumbuhan kredit yang signifikan, kata Erzon diharapkan kinerja selama 2011 bisa tumbuh positif dengan perolehan laba sama dengan tahun 2010 lalu. Perseroan mengantongi Laba bersih 345,7 miliar rupiah pada tahun 2010, naik 45,02 persern dibanding 2009 yang 238,37 miliar rupiah. Pencapaian laba tahun lalu dihasilkan dari kenaikan pendapatan bunga bersih sebesar 50,09 persen menjadi 1,02 triliun rupiah dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang 683,52 miliar rupiah.
Sayangnya, pendapatan operasional selain bunga pada tahun lalu menurun sekitar 44,3 persen dari 104,63 miliar rupiah pada 2009 menjadi 58,38 miliar rupiah tahun 2010.
Hingga akhir 2010, Bank yang dikendalikan oleh Pemerintah Provinsi Riau sebagai pemilik saham terbesar ini memiliki rasio kecukupan modal sebesar 22,41 persen, dengan tingkat kredit bermasalah 2,45 persen.
Pada tahun buku 2010, perseroan juga telah membagikan dividen senilai 205 miliar rupiah atau 60 persen dari laba bersih yang diterima. Angka dividen tersebut lebih tinggi disbanding pembangian tahun 2009 yang 160 miliar rupiah.
Menurut Erzon, perseroan perlu memperbesar kapasitas terutama modal untuk dapat bersaing di industri perbankan nasional, sekaligus menjadi tuan rumah di daerah sendiri. Untuk itu perlu dukungan dari pemegang saham yakni Pemerintah Daerah setempat dalam hal permodalan dan dukungan kebijakan.
Deputi Gubernur BI, Muliaman D Hadad pernah mengatakn, keinginan BPD untuk menjadi tuan rumah di daerahnya baru bisa terwujud sepanjang ada komitmen dan dukungan kuat terutama dalamhal permodalan dari pemda.
Oleh karena itu, para direksi BPD harus mampu meyakinkan para pemegang saham yakni kepala daerah bahwa banknya membutuhkan tambahan modal agar bisa memberi kontribusi lebih besar kepada pembanguna daerah.
Meski demikian, BPD jangan selalu tergangunt pada Pemda untuk tambahan modalnya, tetapi BPD juga harus memposisikan diri sebagai bank terdepan did aerah masing masing sehingga bisa berperan lebih banyak dalam pembangunan ekonomi di daerah.
Selama ini, banyak manajemen BPD terlalu malas untuk berinovasi di tengah kepastian dana yang berasal dari anggaran daerah dan gaji pegawai negari di derah yang harus ditempatklan di bank tersebut.
Itu terlihat dari komposisi dana pihak ketiga DPK yang trdiri dari giro sebesar 34,26 persen, deposito 46,82 persen dan tabungan 18,92 persen dimana sebagian besar berasal dari dana pemerintah.
Sementara itu, pertumbuhan kredit BPD diseluruh Indonesia pada 2010 year on year sebesar 21 persen sedikit dibawah pertumbuhan kredit nasional yang 22 persen. Selain itu posisi Net Performing Loan (NPL) BPD pada 2010 yaitu mencapai 2,26 persen, ROA sebesar 14,37 persen dan LDR BPD pada Januari 2011 mencapai 73,12 persen. Disisi lain, CAR BPD pada Januari 2011 meningkat 16,73 persen dari Desember 2010 yang mencapai 16,68 persen. (gus).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar