Selasa, 18 Mei 2010

Potret Pekerja Batam



Foto : Para pekerja di pabrik PT Sat Nusa Persada Tbk Batam.

Batam, seperti halnya Jakarta merupakan kota heterogen dimana penduduknya adalah kaum urban atau pendatang. Banyak suku dan ras yang bercampur baur dalam pulau seluas Singapura ini, bahkan banyak pula imigran-imigran gelap dari negara tetangga.



Sebagian besar atau sekitar 60 persen penduduk Batam adalah pekerja di berbagai industri manufacturing, galangan kapal, hotel dan restoran. Mereka (Pekerja) bukan penduduk tempatan, melainkan berasal dari hampir seluruh wilayah Indonesia dan bahkan banyak juga warga negara asing yang mencari nafkah di Batam.

Sekitar tahun 1960-an pulau Batam berupa pulau kering tidak berpenduduk dan hanya terdapat hutan dan hewan liar. Pulau ini menjadi primadona bagi pencari kerja sejak pemerintah membuka kawasan ini sebagai zona bebas.

Berawal pada 1971 dengan dijadikannya Batam sebagai basis perminyakan bagi Pertamina, kala itu dibawah kepemimpinan Ketua Otorita Batam Ibnu Sutowo belum banyak terjadi pembangunan di Batam.

Saat BJ Habibie menjabat Ketua Otorita Batam yang ke tiga pada 1978, Batam mulai membangun dan berbagai infrastruktur di dirikan untuk menjaring investor masuk ke kawasan ini, alhasil dalam tempo beberapa tahun saja sudah banyak investor asing khususnya dari Singapura membuka usaha di Batam dan menjadikan Batam sebagai basis produksinya.

Seiring dengan pembangunan yang terjadi di Batam, kota ini mulai diserbu pekerja dari berbagai daerah di Indonesia . Mereka banyak bekerja sebagai operator pabrik elektronik dan di perusahaan galangan kapal.

Sebagai kaum pendatang atau Urban, pekerja Batam yang menjadi penduduk kota ini secara alamiah membentuk kelompok atau komunitas sendiri, sehingga di Batam terdapat kampung jawa, kampung ambon, kampung jambi, kampung cina, kampung flores, kampung madura dan lainnya. Penamaan kampung itu, menandakan banyaknya komunitas yang berasal dari daerah tersebut.

Disadari atau tidak ternyata porsi pembagian kerja di Batam terkadang ditentukan oleh etnis tertentu, misalnya untuk pekerjaan keamanan atau security mayoritas di kuasai oleh etnis yang berasal dari Flores, sedangkan operator pabrik kebanyakan dari etnis Batak da jawa dan pekerja di hotel serta restoran kebanyakan dari jawa barat dan manado.

Sosialisasi antar pekerja atau penduduk Batam bisa dikatakan cukup harmonis, seperti yang terlihat di kawasan Dormitori atau tempat penginapakan pekerja di kawasan industri Batamindo.

Di Dormitori tersebut terdapat ribuan tenaga kerja yang menjadikan tempat itu sebagai tempat tinggal, dan mereka berasal dari berbagai suku. Hubungan atau sosialisasi tetap berjalan secara harmonis dan tidak ada pertentangan yang berarti.

Salah seorang pekerja yang berasal dari Medan Andi Napitupulu (20) mengatakan hubungan atau sosialisasi dengan pekerja dari etnis lain berjalan cukup harmonis dan tidak ada pertentangan, bahkan kebanyakan hubungan para pekerja cukup erat karena mereka menyadari sama sama merantau dan mengadu nasib di Batam.

Sementara itu, pekerja asing di Batam kebanyakan bertempat tinggal di Apartemen atau mess yang disediakan perusahaan. Seperti yang terlihat di Apartemen Harmoni yang kebanyakan dihuni oleh pekerja asal Amerika Serikat dan Eropa yang bekerja di berbagai perusahaan di Batam.

Factory Manager PT Tectrons Manufacturing Ivan Leo yang berkebangsaan Singapura mengatakan hubungan kerja antar pekerja asing dan lokal menurutnya berjalan cukup baik dan mereka saling menghargai, oleh karena itu dia cukup terkejut dengan kerusuhan yang terjadi di perusahaan Galangan kapal PT Drydock beberapa waktu lalu.

Menurutnya, kerusuhan itu tidak akan merembet ke perusahaan lainnya dan tidak akan berdampak negative terhadap kegiatan produksi perusahaan lainnya, karena pekerja sudah sibuk dengan pekerjaanya masing masing, sehingga tidak terlalu memperhatikan kerusuhan yang terjadi di Drydock tersebut.

Ketua Kadin Batam, Nada F Soraya mengatakan, meskipun kerusuhan di Drydock tidak memberi dampak negatif terhadap iklim investasi di Batam tapi pemerintah harus segera mengatasinya, karena Batam sejak dahulu sampai saat ini sering terjadi kerusuhan baik itu antar etnis maupun antar pekerja. Kondisi itu bila dibiarkan terus menerus akan memuncak dan menimbulkan insiden yang lebih besar.

Sebagai kota urban atau kota baik kaum pendatang, konflik antar etnis menurut Nada tidak bisa dihindari, karena secara fisikologis akan terjadi kecemburuan jika melihat seseorang berhasil sementara yang lain menderita.

Terlebih para pendatang di Batam tidak semuanya memiliki keahlian atau kemampuan untuk bekerja sehingga bagi pendatang yang tidak memiliki keahlian akan menganggur dan untuk mempertahankan hidupnya harus bekerja apapun.

Namun, bagi pekerja yang memiliki keahlian akan mendapat pekerjaan yang layak seperti menjadi operator pabrik dengan gaji sekitar 1,2 juta per bulan dan jika lembur bisa mendapat 2,5 juta rupiah per bulan.

Desakan tuntutan ekonomi dan gaya hidup yang ada di Batam membuat gaji 2,5 juta rupiah per bulan itu dirasa kurang bagi sebagian besar pekerja di Batam.

Erik salah seorang pekerja di Galangan kapal mengatakan, gaji yang diterimanya terkadang hanya bertahan untuk hidup selama tiga minggu dan untuk minggu terakhir biasanya dia sudah cash bon ke perusahaan untuk membeli makanan.

Namun, kata Erik saat ini pihaknya belum bisa bekerja karena perusahaanya yakni PT Drydock baru terjadi kerusuhan dan sampai saat ini dia belum menerima gaji dari perusahaan untuk pekerjaan bulan lalu.

Erik mengatakan, kerusuhan yang terjadi di Drydock pecan lalu disebabkan sikap congkak dari pekerja asal India yang seolah olah pintar, dan menekan pekerja lokal.

“Sebagai pekerja lokal kami tidak ingin di jajah la pak, jadi ketika dia bilang kami stupid maka kerusuhan terjadi sebab sebelumnya sudah panas duluan,” kata dia kepada Koran Jakarta, Senin (3/5).

Hubungan kerja yang terjadi di Drydock katanya sudah panas terlebih dahulu sebelum kerusuhan, karena pekerja di perusahaan itu kebanyakan pekerja asing dari India yang mendapat banyak pasilitas dari perusahaan sedangkan pekerja lokal hanya digaji 7.000 rupiah per jam.

Padahal, kata Erik, Pekerja asal India tersebut bila di Singapura hanya bekerja sekelas helper. Oleh karena itu, pekerja lokal di Batam sudah memendam rasa kesal terhadap pekerja asal India tersebut. (gus).

Tidak ada komentar: