BATAM – Infrastruktur di daerah perdagangan dan pelabuhan bebas atau Free Trade Zone Batam dinilai pengusaha masih buruk, menyebabkan tingginya biaya produksi yang memicu keraguan investor asing untuk menanamkan modalnya.
Hengky Suryawan yang sudah menekuni bisnis galangan kapal di Batam selama 15 tahun mengatakan, praktis selama 15 tahun ini tidak ada perbaikan infrastruktur yang memadai di Batam, meskipun kota ini sudah berstatus daerah perdagangan dan pelabuhan bebas.
Itu terlihat dari kondisi jalan di berbagai kawasan industri Batam seperti di Tanjung Uncang yang sampai saat in belum di aspal.
"Saya membayar pajak hampir dua miliar rupiah per tahunnya, ironisnya kondisi jalan di sekitar perusahaan saya yang juga terdapat puluhan perusahaan galangan kapal milik asing belum diaspal lalu di kemanakan pajak yang kami setor tersebut ,” kata dia ketika berdialog dengan Menteri Keuangan Agus Martowardoyo di Batam, Senin (7/3).
Padahal, kata dia setiap hari jalan tersebut dilalui ribuan pekerja dan di daerah itu juga terdapat puluhan perusahaan galangan kapal multinasional milik asing.
Menurut Hengky, pemerintah pusat mestinya mengontrol penggunaan anggaran di daerah karena sebagian besar APBD digunakan untuk belanja pegawai bukan untuk pembangunan inftrastruktur. Akibatnya, infrastruktur di Batam menjadi terlantar dan pengusaha dirugikan.
Pasalnya, kondisi infrastruktur yang buruk menyebakan biaya produksi menjadi sangat tinggi sehingga perusahaan di Batam tidak mampu bersaing dengan perusahaan di negara tetangga seperti China, Vietnam dan Singapura, contohnya biaya transportasi.
Menurut Hengky, biaya transportasi yang harus dikeluarkan setiap perusahaan galangan kapal di Batam saat barang atau kapal telah masuk ke daerah tujuan di Indonesia sangat tinggi yakni mencapai 70 persen, padahal biaya transportasi dari perusahaan asing di luar negeri ke Batam hanya 30 persen.
“Saya pernah menanyakan kondisi jalan yang buruk tersebut ke BP Batam yang dahulu bernama Otorita Batam malah diarahkan ke Pemko Batam, setelah saya tanyakan ke Pemko Batam malah di arahkan lagi ke BP Batam, “ katanya.
CEO PT Sat Nusa Persada Tbk, Abidin mengatakan pemerintah daerah (Pemko Batam) sebenarnya memiliki anggaran cukup besar lebih dari 1,4 triliun rupiah tahun 2011 ini. Namun, anggaran itu sebagian besar digunakan untuk belanja pegawai dan hanya sedikit sekali untuk membangun infrastruktur.
Oleh karena itu, Abidin berharap pemerintah kota Batam bisa merubah struktur APBD nya dengan memberi porsi yang lebih besar untuk belanja infrastruktur. Misalnya dengan memberi subsidi listrik bagi masyarakat.
Selama ini, kata Abidin masyarakat Batam mendapat subsidi listrik dari para pengusaha melalui subsidi silang. Kondisi itu menyebabkan beban pembayaran listrik yang dipikul pengusaha cukup besar.
“Pemerintah pusat tidak memberi subsidi listrik pada warga Batam karena pengelolaan listrik dilakukan swasta dan untuk itu PLN Batam sebagai perusahaan yang mengelola listrik di Batam membebankan subsidi listrik bagi warga kepada Pengusaha di Batam sehingga beban pengusaha untuk membayar listrik menjadi sangat besar,” katanya.
Menteri Keuangan Agus Martowardojo sewaktu berkunjung ke Batam Senin (7/3) menyangkan masih minimnya kondisi infrastruktur di Batam, padahal kota itu memilki potensi besar untuk maju sepertihalnya Singapura atau Johor Malaysia.
Misalnya saja, kondisi pelabuhan kargo Batu Ampar yang sangat memprihatinkan padahal pelabuhan tersebut menjadi pintu utama keluar masuknya barang dari Batam ke luar negeri dan sebaliknya.
"Jika kondisi infrastruktur di Batu Ampar begitu terus, bagaimana negara ini siap bersaing," katanya.
Menurut Agus, pelabuhan Batuampar idealnya sudah dapat dimaksimalkan dengan merencanakan pengembangan perluasan pelabuhan tersebut. Ironisnya kondisi saat ini fasilitas crane saja tidak dimiliki pelabuhan tersebut kemudian lampu pelabuhan juga tidak tersedia sehingga aktivitas pada malam hari terganggu.
Agus membandingkan pelabuhan Port Klang, Malaysia yang telah mampu menampung 8 juta TEUS per tahun, sedangkan pelabuhan Batu Ampar baru mampu menampung 200.000 TEUS per tahun. Padahal sebagai daerah kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas Batam, seharusnya daya tampung pelabuhan peti kemas Batu Ampar harus meningkat tiap tahunnya.
Dengan begitu, Menkeu merasa ada yang tidak beres dalam pengelolaan pelabuhan selama ini, sebab konsepsi pertumbuhan dunia yang mencapai 4,9 persen sangat tidak mungkin tidak berimbas ke Indonesia yang menjadi primadona di ASEAN.
Menkeu juga berharap pemerintah daerah di Batam dan Provinsi Kepri agar tidak tergerus konsentrasi pembelajaan operasional tanpa memperhatikan infrastruktur sebagai penguat Batam salah satu kawasan perdagangan bebas. Dikatakannya, kawasan Free Trade Zone (FTZ) itu harus steril dan siap secara infrastruktur, sehingga kegiatan operasional bongkar muat barang dapat optimal selama 24 jam penuh. (gus).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar