“Bumi memiliki cukup kebutuhan untuk manusia, tapi tidak untuk keserakahan manusia” (Mahatma Gandi).
Emisi atau pancaran Karbon Dioksida (CO2 atau zat asam arang yakni senyawa yang terdiri dari dua atom Oksigen dan Karbon) dalam sembilan tahun terakhir diketahui kian membubung tinggi meskipun keprihatinan akan pemanasan global menyebar di seluruh dunia. Emisi karbon naik 3,5 persen setiap tahun, sejak tahun 2000. Itu merupakan peningkatan tajam dari 0,9 persen pertahun pada era 90-an. Akibatnya adalah temperatur dalam satu abad ke depan dapat meningkat jauh lebih tajam dari perkiraan sebelumnya. Selain itu, pengamatan dengan satelit menunjukkan, tingkat permukaan air laut naik lebih cepat dari yang diperhitungkan.
CO2 adalah senyawa yang berbentuk gas di atmosfer bumi yang memiliki rata rata konsentrasi 387 ppm. Senyawa ini menjadi penting bagi kehidupan manusia di bumi karena menyerap gelombang inframerah dengan kuat sehingga cahaya matahari tidak langsung masuk ke permukaan bumi.
Dr Rajendra K. Pachauri peraih nobel pada 2007 bersama Al Gore dalam pesanya di acara the 4th Asian Vegetarian Congress di Batam 6-10 Nopember 2009 menyebutkan, pemanasan global tidak diragukan lagi memang terjadi dan terus meningkat sebagaimana dibuktikannya berdasarkan observasi atas peningkatan suhu udara dan peningkatan permukaan air laut yang dilakukan sejak 1850.
Menurutnya, rata-rata tinggi permukaan air laut global naik 1,88 milimeter (mm) per tahun selama 1961 sampai 2003. Peningkatan itu berlangsung lebih cepat dalam periode 1993 sampai 2003 sekitar 3,1 mm per tahun, sehingga total peningkatan selama abad 20 diperkirakan 0,17 meter.
Kondisi itu dipengaruhi oleh penurunan Gletser atau es yang menempel di pegunungan serta cakupan salju di kutup utara dan selatan.
Menurut Rajendra yang merupakan Chairman of The United Nations Intergovernmental Panel on Climate Change, penurunan Gletser pegunungan dan cakupan salju di belahan bumi utara dan selatan bisa terjadi karena naiknya suhu udara yang diperkirakan 1,8-4,0 derajat celcius, berdasarkan hasil observasi abad 20. Itu dipicu oleh emisi CO2 atau gas rumah kaca atau dikenal sebagai efek rumah kaca.
Emisi gas rumah kaca dihasilkan dari Konsentrasi CO2, Metana, Nitrogen Oksida yang diciptakan manusia dimasa lalu, sekarang dan masa datang yang terus menerus, lalu terakumulasi yang menyebabkan lapisan atmosfir bumi kian menipis, sehingga cahaya matahari yang masuk ke bumi tidak bisa lagi disaring secara sempurna akibat bocornya lapisan ozon, sehingga salju di kutup utara dan selatan mencair mengakibatkan volume air laut meningkat.
Dampak paling parah adalah, daratan atau pulau pulau kecil di dunia bakal tenggelam dan Indonesia sebagai negara kepulauan menjadi terancam.
Tidak hanya itu, efek rumah kaca juga menyebabkan perubahan iklim global sehingga bencana alam seperti gempa bumi dan lainnya akan sering terjadi akibat pergeseran kerak bumi.
Penyebab utama pemanasan global kata Rajendra adalah industri peternakan sebab 64 persen emisi ammonia yang menyumbang hujan asam secara signifikan dihasilkan dari industri itu.
Peternakan juga menjadi penyebab terbesar dari reduksi atau pengurangan biodiversitas (keanekaragaman hayati), sebab peternakan merupakan pendorong utama deforestasi atau pengundulan hutan.
Industri itu juga menjadi pendorong utama degradasi atau penurunan kualitas tanah, pencemaran, perubahan iklim, penangkapan ikan berlebihan, sedimentasi di area pantai, dan pemberi fasilitas untuk invasi spesien asing atas spesies lokal.
Dia mencontohkan, bila memproduksi satu kilogram daging sapi dapat menyebabkan emisi gas rumah kaca dengan potensi pemanasan global setara dengan 36,4 kg CO2, melepaskan pupuk setara dengan 340 gram Sulfur Dioksida dan 59 gram Fosfat serta mengonsumsi energi 169 juta joule.
Dengan kata lain, satu kilo gram daging sapi setara dengan emisi CO2 yang dihasilkan sebuah mobil di Eropa setiap 250 kilo meter dan menghabiskan energi yang cukup untuk menyalakan lampu 100 watt selama hampir 20 hari. Disamping itu, lebih dari dua pertiga energi dihabiskan untuk memproduksi dan mengangkut pakan ternak.
Dari hasil penelitian Rajendra pada 2006 disebutkan, industri peternakan memproduksi sekitar 276 juta ton daging ayam, babi, sapi dan daging lainnya, jumlah itu empat kali lipat dibanding 1961. Lalu, secara rata-rata orang memakan dua kali lipat dibandingkan tahun 1961 atau sekitar 43 kilo gram per tahun.
Persentase produk hewani dalam pola makan telah meningkat secara konsisten di Negara Negara berkembang akibat pertumbuhan ekonomi sehingga terjadi perubahan pola dan gaya hidup yang memicu peningkatan permintaan daging dan produk susu.
Pasokan protein per kapita di Negara berkembang meningkat 123 persen di tahun 2000 dibanding 1960 an sedangkan protein dari sumber hewani meningkat 67 persen.
Bertambahnya populasi dan meningkatnya pendapataan, bersamaan dengan preferensi makanan atau pola makan yang berubah meningkatkan secara cepat permintaan akan produk peternakan seiring dengan globalisasi yang meningkatkan perdagan gan bahan dan produk peternakan. Produksi daging global diproyeksikan meningkat lebih dari dua kali lipat dari 229 juta ton di tahun 1990 menjadi 465 juta ton di tahun 2050 dan produksi susu meningkat dari 580 juta ton menjadi 1943 juta ton.
Antara 1950-2000 populasi manusia bertambah lebih dari dua kali lipat dari 2,7 miliar menjadi 6,7 miliar sedangkan produksi daging meningkat lebih dari lima kali lipat dari 45 miliar kg menjadi 233 miliar kg per tahun. Saat ini konsumsi daging global rata rata 100 gram per orang per hari yang bervariasi dari 200-250 gram di Negara kaya hingga 20-25 gram di Negara miskin.
Oleh karena itu, kata dia wajar bila industri peternakan menjadi faktor utama penyebab pemanasan global dan lebih parah dibanding polusi yang dihasilkan dari industri pabrik ataupun pengundulan hutan. Sehingga tidak ada lagi cara bagi manusia bila ingin mencoba menyelamatkan bumi dari pemanasn global, selain mengurangi konsumsi daging dan mencoba hidup dengan vegetarian.
“Global warming tidak bisa dihentikan, kecuali manusia mengurangi konsumsi daging,” katanya.
Ahli Gizi Kusharisupeni yang juga menjadi peserta dalam the 4th Asian Vegetarian Congress di Batam 6-10 Nopember 2009 mengatakan, vegetarian adalah orang yang hidup dari produk yang berasal dari tumbuhan dengan atau tanpa mengonsumsi susu dan telur berikut produk olahannya.
Gaya hidup dengan pola makan tanpa produk hewani tersebut pastinya bisa mengurangi pertumbuhan industri peternakan yang menjadi penyebab utama pemanasan global. (gus).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar