TANJUNG PINANG – Kasus perdagangan manusia atau human trafficking di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) semakin menguatirkan dan jumlah korbanya sejak 2006 hingga saat ini lebih dari 2 ribu orang. Ironisnya, belum ada satupun kasus tersebut yang masuk meja pengadilan.
Anggota Biro Pemberdayaan Perempuan (BPP) bagian penanggulangan Provinsi Kepri, A Husaini mengatakan, korban trafficking yang terjadi di Kepri terus meningkat setiap tahunnya. Jumlahnya lebih dari 2 ribu orang sejak 2006 hingga saat ini, dan sebagian besar korban adalah peremuan dan anak dibawah umur.
“Jumlah korban traficiking sejak 2006 hingga saat ini mencapai 2 ribu orang yang merupakan korban yang kami dampingi dan jumlahnya lebih besar lagi jika digabung dengan data yang dimiliki kepolisian dan lembaga lainnya,” kata dia, akhir pekan lalu.
Para korban berasal dari berbagai daerah di Indonesia khususnya Pulau Jawa yang dipekerjakan ke sejumlah negara terutama Malaysia dan Singapura. Korban terjerat dalam kasus trafficking karena di iming imingi dengan pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga dan jenis pekerjaan lainnya dengan gaji tinggi.
Namun, dalam proses selanjutnya kebanyakan korban tidak mendapat pekerjaan dan gaji sesuai dengan yang dijanjikan. Para korban juga tidak dilengkapi dengan dokumen legal sehingga sering di tangkap oleh aparat berwenang di negara tempatnya bekerja.
Menurut Husaini, kasus trafficking akan terus bertambah jika tidak ada regulasi yang jelas dari pemerintah soal penempatan TKI di negara lain. Selain itu, pemerintah juga sudah saatnya menindak tegas para pelaku kejahatan trafficking dengan hukuman yang setimpal. Pasalnya hingga saat ini, belum pernah ada satupun kasus trafficking yang masuk ke pengadilan sehingga para pelaku kejahatan tersebut masih leluasa mencari korbanya.
Para penyelidik di Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) sering mendapatkan kendala dalam merampungkan perkara. Kendala tersebut bisa berasal dari internal dan eksternal. Misalnya, ketika penyidik sudah mengirimkan berkas kasus trafficking, tetapi begitu sudah disidangkan berubah menjadi pasal mucikari. Fakta itulah kemudian mengindikasi masih ada joker di balik kasus trafficking.
Ketua Umum LSM Gerakan Anti Trafficking (GAT) Kepulauan Riau, Syamsul Rumangkang mengatakan, para penegak hukum mestinya dapat melihat korban kasus trafficking yang telah dianiaya, di perkosa dan tidak digaji selama bekerja sehingga mereka tidak membiarkan para pelaku kejahatan trafficking bebas dan tidak mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Selama ini, kata dia beberapa oknum penegak hukum di pengadilan dan kepolisian bisa diajak kerjasama dengan penjahat trafficking sehingga kasusnya sering tidak sampai ke meja hijau.
Oleh karena itu, Syamsul yang juga anggota Bidang Pencegahan Tim Gugus Tugas Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) Perempuan dan Anak Provinsi Kepri mendesak penegak hukum supaya jangan "bermain" dengan para trafficker.
"Generasi muda bangsa ini bukan komoditi yang bebas dieksploitasi tanpa memandang batas aturan dan hak azasi manusia. Oleh karena itu penegak hukum harus bertindak menghukum seberat beratnya para penjahat Trafficking," katanya. (gus).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar