BATAM – Pemerintah perlu mempercepat revisi PP No 02/2009 tentang aturan main di kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas Batam, Bintan dan Karimun (FTZ-BBK) untuk meningkatkan daya saing kawasan tersebut. Pasalnya, 116 negara dengan 3.000 kawasan FTZ saat ini bersaing ketat menjaring investor.
Sekretaris Dewan Kawasan FTZ BBK Jhon Arizal mengatakan, dari pertemuan antar anggota Parlemen Se Asia Pasifik terungkap bahwa saat ini sudah ada sekitar 3.000 kawasan FTZ di seluruh dunia yang dibentuk oleh 116 negara yang memperkerjakan sekitar 43 juta tenaga kerja.
Jumlah itu, akan terus meningkat seiring dengan kebijakan pemerintahan di banyak negara yang akan membuat daerah FTZ dinegara masing masing, sehingga persaingan antar kawasan FTZ di dunia semakin ketat. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia perlu segera membenahi peraturan, infrastruktur dan birokrasi agar tidak tertinggal.
Salah satu persoalan yang belum tuntas saat ini, kata Jhon tentang revisi Aturan FTZ BBK atau PP no 02 tahun 2009 yang belum selesai pembahasannya sampai saat ini. Padahal aturan yang menjadi payung hukum investor dalam menjalankan bisnis di BBK itu sangat penting agar bisa diketahui ketentuan dalam menjalankan bisnis di BBK.
Dewan Kawasan FTZ BBK telah membentuk tim untuk mendesak pemerintah segera mempercepat revisi aturan tersebut, namun sampai hari ini belum juga selesai pembahasannya. Oleh karena itu, banyak investor di perkirakan masih wait and see untuk menanamkan modalnya di BBK.
Kondisi itu, jika dibiarkan lama, maka dikuatirkan investor tersebut akan beralih ke kawasan sejenis di negara lain yang memberikan fasilitas dan kemudahan lebih baik dari Indonesia seperti yang dilakukan Pemerintah Philipina dan Vietnam yang saat ini sedang gencar memasarkan kawasan FTZ – nya.
Salah seorang pejabat Pemerintah Philipina yang juga Ketua otoritas FTZ di negara tersebut yang hadir dalam pertemuan anggota Parlemen Se Asia Pasifik di Batam, James Bong Gordon Jr mengatakan, Filipina saat ini memiliki delapan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) atau FTZ yang siap dipasarkan pada investor asing, diantaranya Subic Bay Free Port Zone, Clarck Special Economic Zone dan Bataan Export Processing Zone Authority.
Subic Bay Free Port Zone, kata dia awalnya merupakan pangkalan militer Spanyol yang digantikan oleh Amerika Serikat sebagai pangkalan Meliter Angkatan Lautnya. Pemerinah Philipina tidak memperpanjang kontrak kawasan itu kepada Amerika Serikat dan menjadikannya sebagai daerah industri atau FTZ.
Philipina sendiri saat ini sedang gencar mengembangkan kawasan FTZ karena terbukti ampuh bisa menciptakan ribuan lapangan kerja bagi masyarakat Philipina.
Sementara itu Ketua Badan Pengusahaan Kawasan FTZ Bintan, Mardhiah mengatakan, akibat belum selesainya revisi PP no 02 tahun 2009 menyebabkan sejumlah investor asing belum mau merealisasikan rencana investasinya.
“Investor dari Rusia dan beberapa negara Asia seperti Korea yang sudah beberapa kali mengunjungi Bintan hingga hari ini belum merealisasikan rencana investasinya karena masih menunggu kepastian payung hukumnya,” kata dia, Senin (28/6).
Mardhiah kuatir jika pemerintah tidak segera menyelesaikan pembahasan PP no 02 tersebut, investor akan berpaling ke kawasan sejenis di negara tetangga.
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kota Batam, Nada F Soraya mengatakan, daya saing FTZ BBK saat ini cukup lemah disbanding kawasan sejenis di negara lain. Itu disebabkan beberapa hal, pertama, payung hukum yang belum jelas, kedua, pemerintah kurang memberi insentif pada investor seperti yang dilakukan negara lain misalnya, insentif pajak. Ketiga, Pemerintah tidak tegas mengatus soal perburuhan khususnya mengenai Upah, sehingga hampir setiap tahun selalu ada aksi demo buruh yang menuntut kenaikan upah. Keempat, kurang bersaingnya harga atau tarif listrik, air dan telekomunikasi yang menyebabkan tingginya biaya produksi di kawasan BBK. Keempat, Kurang produktifnya tenaga kerja Indonesia jika dibanding Cina. (gus).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar