Penetrasi ritel nasional saat ini masih terbilang kecil yakni kurang dari 20 persen, dimana dari 1 juta penduduk hanya terdapat 52 ritel, sedangkan di Singapura 200 ritel, Korea Selatan 360 ritel, Taiwan 520 ritel dan Malaysia 165 ritel (Riset AC Nielsen). Itu menunjukan tingginya potensi pasar yang ada sehingga sektor ini dinilai prospektif.
Ketua Departemen Data dan Informasi Pasar Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mandey kepada Koran Jakarta mengatakan, industri ritel setiap tahun selalu mengalami pertumbuhan double digit, pada 2009 ketika ekonomi nasional dan global masih dibayang bayangi dampak krisis keuangan global, sector ritel justru mengalami pertumbuhan 10-15 persen dengan nilai transaksi sekitar 77 triliun rupiah, dan tahun 2010 ini diperkirakan tumbuh diatas 15 persen.
Menurut Roy beberapa faktor yang menyebabkan industri ritel tetap tumbuh antara lain, pertama potensi pasar yang cukup besar dengan jumlah penduduk lebih dari 240 juta jiwa sedangkan penetrasinya masih kecil yakni kurang dari 20 persen. Kedua tingkat pendapatan masyarakat yang terus mengalami pertumbuhan, ketiga gaya hidup masyarakat Indonesia yang cenderung hobi belanja.
Peluang itu menyebabkan investor asing dan dalam negeri terus menerus mengincar pasar Indonesia, dan baru baru ini investor dari Korea yakni Lotte Grup telah mengakuisisi Makro dan menyiapkan investasi sekitar 9 triliun rupiah untuk ekspansi usahanya di Indonesia.
Investor dalam negeri juga tidak ketinggalan terus melakukan ekspansi usaha, seperti yang dilakukan pengusaha Chairul Tanjung yang rencananya akan membeli saham perusahaan ritel dari Canada yakni Carefour di PT Alfa Retailindo tbk.
Corporate Affairs Director Irawan Kadarman mengatakan, pihaknya secara resmi belum mengumumkan akan divestasi sahamnya di Alfa, meskipun Chairul Tanjung telah mengumumkan akan mengakusisi saham Carrefour di Alfa.
“Belum ada informasi resmi, jadi saya belum berani komentar,” katanya, Selasa (13/4). Carrefour sendiri memiliki hampir 80 persen saham di Alfa.
Risiko Bisnis
Meskipun industri ritel kedepannya cukup prospektif, namun menurut Roy investor juga harus memperhatikan factor risikonya seperti peluang terjadinya pertumbuhan ekonomi yang stagnan, gejolak suku bunga bank, peningkatan inflasi dan kondisi politik yang tidak stabil.
Jika hal itu terjadi, kata dia akan memicu penurunan daya beli masyarakat sehingga penjualan akan mengalami penurunan.
Namun, dengan asumsi tingkat pertumbuhan nasional 5,5-6 persen pada tahun ini, industri ritel dalam negeri diprediksi masih kokoh dan bisa tembus lebih 15 persen.
Faktor lain yang perlu diperhatikan investor juga kata Roy adalah kompetisi antar perusahaan ritel, baik yang lokal maupun asing. Oleh sebab itu, pengusaha ritel harus mengelola bisnisnya secara professional dan lebih segmented dalam menjaring konsumen, seperti yang sedang berkembang saat ini, dimana industri ritel sudah masuk hingga kepelosok atau perumahan untuk menjangkau konsumen lebih cepat. (gus).
NB :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar