BATAM – Status kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas Batam, Bintan dan Karimun (FTZ-BBK) diperkirakan tidak akan memberi dampak positif terhadap perekonomian Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) dan Indonesia dalam waktu dekat ini, disebabkan lambannya pemerintah membenahi peraturan dan kelembagaan yang ada.
Ketua Kamar Dagang dan Industri Batam Nada Faza Soraya mengatakan, sejak diberlakukannya status FTZ bagi BBK pada 1 April 2009 lalu hingga saat ini belum terlihat pertumbuhan investasi yang signifikan di BBK padahal tujuan utama dari pemberian status tersebut oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah untuk mengenjot investasi khususnya dari luar negeri ke dalam negeri.
“FTZ BBK akan mandeg jika pemerintah tidak segera membenahi peraturan yang ada dan membenahi kelembagaan FTZ karena itu ujung tombak dari implementasi FTZ di lapangan,” katanya, Rabu (2/6).
Hal itu, kata Nada dipengaruhi oleh beberapa hal, pertama, lambannya pemerintah membenahi kelembagaan yang ada termasuk di dalamnya soal anggaran yang masih sangat minim. Kelembagaan yang belum dibenahi diantaranya adalah soal keberadaan Otorita Batam yang saat ini sudah berubah menjadi Badan Pengusahaan FTZ Batam yang transpormasinya seolah berjalan ditempat.
Kemudian, keberadaan lembaga Dewan Kawasan dan Badan Pengusahaan Kawasan di Bintan serta Karimun juga dinilai masih belum refresentatif sehingga tidak dapat bekerja secara agresif untuk memancing investor asing masuk ke dalam negeri.
Faktor kedua, dipengaruhi oleh lambannya pemerintah melakukan revisi terhadap peraturan yang menjadi payung hukum FTZ BBK. Peraturan tersebut adalah Peraturan Pemerintah (PP) nomor 2 tahun 2009 tentang kepabenanan, perpajakan dan cukai serta pengawasan atas pemasukan dan pengeluaran barang dari dan ke kawasan FTZ BBK.
Pemerintah daerah khususnya Dewan Kawasan juga kata Nada kurang jeli melihat peluang bisnis yang bisa ditawarkan ke investor asing yang potensial di Kepri.
Menurut Nada, sebagai provinsi yang 96 persen wilayahnya terdiri dari perairan atau laut sangat potensial untuk dikembangkan industri berbasis maritime seperti industri pengalengan ikan dan industri rumput laut. Potensi itu, masih belum diberdayakan dan dipromosikan oleh Pemerintah Daerah ke investor.
Bentuk Tim FTZ
Sekretaris Dewan Kawasan FTZ BBK Jon Arizal mengatakan, lambannya pemerintah melakukan revisi terhadap PP no 2 tahun 2009 menyebabkan pihaknya membentuk tim percepatan revisi peraturan tersebut yang terdiri dari beberapa pejabat terkait.
Tim tersebut pada pekan depan akan ke Jakarta untuk menemui Dewan Nasional FTZ BBK, Menteri Keuangan dan pejabat terkait di Jakarta untuk meminta percepatan revisi PP no 2 tahun 2009. Percepatan revisi itu menurut dia perlu dilakukan karena implementasi FTZ di lapangan saat ini masih terkendala dengan soal perpajakan, cukai dan kepabeanan.
“Kita akan meminta ketegasan dari pejabat terkait di Jakarta tentang kapan revisi itu bisa selesai dilakukan,” kata Jon.
Selain PP no 2 tahun 2009, kata Jon pihaknya juga akan meminta ketegasan dari pemerintah pusat tentang revisi Peraturan Menteri Keuangan nomor 45/PMK.03/2009 tentang tatacara pengawasan, pengadministrasian dan pembayaran serta pelunasan pajak pertambahan nilai dari kawasan bebas.
Kemudian revisi Peraturan Menteri Keuangan nomor 46/PMK.04/2009 tentang pemberitahuan pabean serta PMK nomor 47/PMK.05/2009 tentang tata cara pemasukan dan pengeluaran barang.
Dengan revisi tersebut nantinya diharapkan seluruh perijinan investasi bisa dikeluarkan di daerah atau di pusat layanan satu atap yang ada di Batam sehingga tidak perlu lagi mengurus ijin atau meminta ijin dari Jakarta .
Jon menjelaskan, selama ini aturan yang ada masih belum bisa dijalankan secara maksimal karena menunggu hasil revisi tersebut, akibatnya sebagian besar arus keluar masuk barang di kawasan FTZ BBK menjadi terhambat.
Hambatan tersebut dipicu oleh tidak ada kordinasi lembaga yang bertugas dilapangan, karena masing masing lembaga berpegang pada aturan internal. Misalnya dalam pemasukan barang di lokasi pelabuhan FTZ, mestinya jika mengacu pada PP no 2 harus ada ijin dari Badan Pengusahaan Kawasan, namun di lapangan ternyata kejadiannya berbeda.
Aparat Bea dan Cukai dilapangan yang mengurus soal pemasukan barang di pelabuhan hanya bekerja berdasarkan peraturan yang dimilikinya. Misalnya untuk arus barang yang masuk kepelabuhan hanya bisa masuk jika memiliki Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP), Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Angka pengenal impor, nomor induk kepabeanan dan lainnya, sedangkan ijin dari BP kawasan tidak diperlukan. (gus).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar