BATAM - Sejumlah perusahaan menghentikan kegiatan produksi di Batam tahun ini dengan berbagai alasan, antara lain disebabkan risiko investasi yang cukup tinggi karena ketidakjelasan soal institusi dan regulasi.
Beberapa perusahaan di Batam yang akan tutup tahun ini antara lain PT Sony Chemical yang akan berhenti operasi pada 31 Agustus 2009. Sedangkan yang sudah tutup operasi antara lain, PT Scarmer Batam dan PT Epson Toyocom. Perusahaan lain yang merumahkan ratusan pekerjanya antara lain, PT Unisem, Japan Servo, PT Satu Nusapersada.dan Shin Etsu.
Senior Manager General Affair PT Batamindo Investment Cakrawala, Eddi Kadir mengatakan, PT Sony Chemical yang beroperasi di kawasan industri Batamindo secara administrasi belum mengajukan penghentian sewanya meskipun akan menghentikan akativitas produksi. Pihaknya, kata dia baru mendapat kabar dari Dinas Tenaga Kerja bahwa perusahaan itu akan menghentikan aktivitas produksinya pada Agustus tahun ini dan merumahkan ratusan karyawannya.
“Saya dapat kabar kalau Sony akan berhenti produksi, namun secara administrasi mereka belum melaporkannya,” kata dia.
Kepala Dinas Tenaga Kerja Kota Batam Rudy Sakyakirti mengatakan, Sony Chemical sudah melaporkan akan menghentikan produksinya pada Mei lalu dan akan merumahkan sekitar 300 karyawannya.
Risiko Tinggi
Ketua Kamar Dagang dan Industri kota Batam yang juga Member of Komite Indonesia-Singapura Nada Faza Soraya mengatakan, wajar bila banyak perusahaan yang menghentikan operasinya di Batam. Itu disebabkan krisis global yang menyebabkan order yang diterima perusahaan itu menurun.
Namun, kata Nada faktor utama yang menyebabkan banyaknya perusahaan asing di Batam menghentikan aktivitas operasinya selama beberapa tahun terakhir disebabkan risiko investasi yang makin tinggi, sehingga peluang merugi semakin besar.
Nada menyebutkan, ada dua faktor utama yang menyebabkan risiko investasi di Batam kian meningkat. Pertama, ketidak jelasan soal institusi paska pemberlakuan status perdagangan dan pelabuhan bebas (FTZ) pada 1 April lalu.
Dalam aturan FTZ tersebut, lembaga atau institusi yang selama ini melayani investor yaitu Badan Otorita Batam (OB) menjadi kabur dan digantikan oleh Badan Pengusahaan Kawasan. Proses penggantian itu tidak disebutkan secara jelas dan tegas, terlebih pengusaha juga bingung apakah kewenangan yang dahulunya ada pada OB juga dialihkan ke BP Kawasan.
Kewenangan itu, misalnya soal Hak Pengelolaan Lahan, pengusaha mempertanyakan apakah BP Kawasan punya kewenangan mengeluarkan HPL dan memungut Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO) dan lainnya, seperti yang dilakukan OB.
“Semua itu sangat membingungkan pengusaha,” kata Nada.
Menurut Nada, bila kewenangan Otorita Batam digantikan oleh BP Kawasan, maka proses birokrasi di Batam menjadi lebih panjang dan lebih rumit.
“Bahkan lebih rumit dan lebih panjang dibanding daerah yang bukan FTZ,” katanya.
Pasalnya, dalam aturan FTZ itu, BP Kawasan bertanggung jawab kepada Dewan Kawasan, dan Dewan Kawasan selanjutnya bertanggung jawab kepada Dewan Nasional dan seterusnya.
Padahal, pengusaha asing mau berinvestasi di Batam karena proses birokrasi atau perijinan investasinya cepat dibanding daerah lain di Indonesia. Itu bisa terjadi karena Otorita Batam yang punya otoritas terhadap pengembangan investasi di Batam langsung bertanggung jawab kepada Presiden.
Selain itu, mekanisme yang mengatur hubungan kerja antara OB atau yang saat ini disebut BP Kawasan dengan Pemerintah Kota Batam sampai saat ini belum keluar aturannya dari pemerintah pusat. Padahal aturan itu, perlu bagi pengusaha agar jelas harus berhubungan dengan lembaga apa untuk urusan bisnisnya.
“Yang terjadi selama ini kebijakan OB atau BP Kawasan sering berbenturan dengan kebijakan pemerintah kota Batam, misalnya soal alokasi lahan,” kata dia.
Oleh karena itu, Nada berharap pemerintah segera menyelesaikan krisis institusi yang ada di Batam agar pengusaha bisa tenang dalam menjalankan usahanya di Batam.
Selain soal krisis institusi, masalah regulasi juga dipertanyakan pengusaha. Menurut Nada, aturan FTZ yang ada saat ini tidak memberi kemudahan bagi pengusaha dalam menjalankan bisnisnya di Batam, khususnya aturan mengenai masterlist.
Dengan permasalah itu, kata Nada sangat wajar bila pengusaha yang sudah investasi di Batam akan hengkang dan pengusaha yang berencana investasi di Batam juga menjadi ragu-ragu, karena faktor risiko yang cukup tinggi.
Padahal, kata dia, pemerintah telah mengeluarkan dana triliunan rupiah untuk membangun infrastruktur di Batam guna menjaring investasi agar masuk ke daerah itu. Namun, investasi pemerintah itu menjadi sia-sia dan terbengkalai karena status hukum yang kian tak menentu di Batam. (agus salim).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar