Perjalanan panjang koperasi di tanah air sejak penjajahan Belanda hingga kemerdekaan dan era reformasi saat ini ternyata belum mampu memberi kekuatan pada koperasi untuk mewujudkan misinya sebagai soko guru ekonomi bangsa. Gerakan koperasi justru kian terjerat persoalan kompleks yang membuatnya sulit berkembang sehingga kontribusinya terhadap perekonomian nasional dipertanyakan.
Gerakan koperasi pertama di Indonesia lahir dari inisatif tokoh R. A. Wiriaatmadja yang merupakan patih Purwokerto (Banyumas ) pada masa penjajahan Belanda. Dia dianggap berjasa menolong para pegawai, pedagang kecil dan petani dari jerat lintah darat melalui koperasi. Gerakan yang dilakukan Wiriaatmadja selanjutnya meluas bersamaan dengan munculnya pergerakan nasional menentang penjajahan. Kondisi itu memaksa pemerintah Belanda mengeluarkan aturan ketat pendirian koperasi, misalnya untuk mendirikan koperasi harus mendapat ijin dari gubernur jenderal, akta dibuat dengan perantaraan notaris dan dalam bahasa Belanda, ongkos materai sebesar 50 golden, hak tanah harus menurut hukum Eropa dan harus diumumkan di Javasche Courant yang biayanya juga tinggi.
Setelah Indonesia merdeka, Koperasi memiliki dasar konstitusi yang jelas dalam UUD 1945 pasal 33 yang menyebut bahwa perekonomian Indonesia harus didasarkan pada asas kekeluargaan. Selanjutnya, koperasi menjadi alat perjuangan rakyat untuk berusaha bersama guna memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup yang didasarkan pada asas kekeluargaan.
Ironisnya, meski jaman telah berganti dan berbagai produk hukum serta infrastruktur koperasi sudah dibuat, namun kontribusi koperasi dalam perekonomian nasional masih sangat minim. Koperasi bahkan masih termajinalkan dan dalam praktiknya sering menjadi subordinasi dari kapitalisme yang tak terbendung seiring perkembangan ekonomi global dan tuntutan pasar bebas.
Ketua Majelis Pakar Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) Teguh Boediyana menyebut ada banyak kendala bagi koperasi untuk tumbuh, dimulai dari kelembagaan yang belum kuat hingga aturan serta kebijakan yang belum mendukung. Selain itu, sektor riil di tanah air juga belum sepenuhnya digarap melalui wadah koperasi.
Seharusnya, dilakukan pengajian tentang sebab-sebab keterpurukan koperasi sebagai bahan penyusunan kebijakan pengembangan koperasi ke depan. Ia mencontohkan, sudah saatnya mengambil langkah untuk mencegah penyimpangan koperasi simpan pinjam, revitalisasi koperasi fungsional, dan memperbaiki kinerja koperasi yang bergerak di sektor riil termasuk meningkatkan kegiatan ekspor.
Persoalan lainnya adalah pemahaman organisasi mengenai jati diri koperasi masih sangat terbatas, di mana koperasi masih lebih banyak dipahami sebagai lembaga ekonomi yang keberhasilannya diukur dari aspek ekonomi semata seperti volume usaha dan sisa hasil usaha (SHU). Padahal yang mesti dikedepankan adalah dimensi sosial seperti kebersamaan, peduli lingkungan, dan demokrasi yang sebenarnya menjadi faktor keunggulan koperasi.
Asisten Deputi Urusan Pengendalian dan Akuntabilitas Koperasi dan UKM Kementerian Koperasi dan UKM Prijambodo pengelolaan koperasi juga dianggap belum profesional ditinjau dari berbagai aspek, seperti aspek budaya. Kemudian, lembaga ini pun masih dipandang sebagai perkumpulan biasa dan masih banyak koperasi yang dipimpin oleh sosok yang kompetensinya rendah. Alhasil dari, 177.482 koperasi di Indonesia, hanya sekitar 70 persen yang benar-benar tercatat aktif, sisanya dinyatakan sebagai koperasi kurang aktif.
Ketergantungan koperasi kepada Pemerintah juga dinilai meninabobokan pengurus koperasi sehingga tidak muncul inovasi untuk membuat sesuatu yang lebih baik. Ketergantungan terhadap pemerintah itu misalnya dalam bentuk permodalan. Hampir setiap tahun pemerintah mengucurkan bantuan permodalan dalam bentuk dana bergulir, meskipun pengembaliannya menimbulkan persoalan tersendiri karena hampir separuh dana yang dikucurkan tidak dikembalikan.
Salah satu pemerintah daerah yang memberi bantuan dana bergulir yakni Pemerintah provinsi Kepulauan Riau yang tahun ini mengucurkan 2,4 miliar rupiah dana bergulir, sedangkan tahun 2010 sebesar 4 miliar rupiah. Setiap pelaku UMKM perorangan akan mendapatkan pinjaman maksimal sebesar 20 juta rupiah sedangkan koperasi maksimal 50 juta rupiah.
Kepala Dinas Koperasi (Kadiskop) Provinsi Kepri, Azman Taufik mengatakan, sebelum dana bergulir disalurkan, terlebih dulu dilakukan survei ke lapangan antara Diskop Kepri bersama instansi terkait yang berada di kabupaten dan kota se-Kepri terhadap seluruh pelaku UMKM maupun Koperasi yang sudah terdata. Hal itu dilakukan untuk menghindari penyalahgunaan anggaran dan memastikan bahwa koperasinya masih aktif.
Pasalnya, pengalaman tahun tahun sebelumnya pengembalian dana bergulir macet senilai miliaran rupiah. Untuk Kota Batam saja terjadi persoalan macetnya pengembalian dana bergulir sebesar 6,2 miliar rupiah sejak 2001-2010 yang dilakukan 500 koperasi dan usaha kecil dan menengah (UKM).
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Pasar, Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (PMPK-UKM) Kota Batam, Amsyakar Achmad membenarkan dana bergulir yang macet mencapai 6,2 miliar rupiah.
“Kalau pengembalian dana bergulir mencapai 100 persen sih saya tak yakin, koperasi atau masyarakat paling bisa mengembalikan dana bergulir 10 sampai 20 persen saja,” katanya.
Refleksi Diri
Peringatan Hari Koperasi ke-64, yang jatuh pada 12 Juli ini, mestinya dijadikan refleksi bagi masyarakat dan pengurus serta anggota koperasi untuk berbenah dan kembali memaknai tujuan lembaga itu memakmurkan hidup rakyat, tumbuh seiring dengan semangat kemerdekaan.
Keterlibatan masyarakat terhadap koperasi harus ditingkatkan untuk mencapai kemakmuran bersama. Data dari kementerian Koperasi saat ini, jumlah masyarakat Indonesia yang sudah dewasa dan bergabung ke koperasi baru mencapai 22 persen. Angka itu sangat jauh dibanding Amerika Serikat dan Singapura. Di Amerika serikat, jumlah warganya yang tergabung di Koperasi mencapai 70 persen sedangkan di Singapura mencapai 80 persen. Kondisi tersebut berpengaruh pada volume usaha koperasi di seluruh dunia yang mencapai 60 triliun dollar AS per tahun.
Sementara itu, volume usaha koperasi di Indonesia baru mencapai 76,82 triliun rupiah dengan sisa hasil usaha hanya 5,62 triliun rupiah. Angka itu diperoleh dari sekitar 30.461.121 jumlah anggota di 177.482 unit usaha ko-perasi yang ada di Kementrian Koperasi.
Untuk meningkatkan peran koperasi dalam perekonomian nasional maka sudah saatnya lembaga lain seperti institusi perbankan dan dunia usaha juga ikut mendukung koperasi. Itu penting agar koperasi memiliki akses yang lebih besar ke lembaga pembiayaan dan pasar yang selama ini menjadi kendala bagi koperasi untuk tumbuh.
Banyak pihak menyetujui bahwa model usaha rakyat melalui koperasi bisa menjadi solusi efektif dalam mengoreksi distorsi pasar, mendorong laju pertumbuhan ekonomi, memperluas kesempatan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan hidup rakyat. (gus).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar