Mendaki gunung bagi sebagian orang mungkin dianggap kegiatan atau hobi yang hanya membuang waktu, biaya dan tenaga, tapi bagi komunitas pendaki gunung atau mountenering club aktivitas tersebut merupakan cara untuk lebih bersahabat dengan alam, mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, menghargai hidup dan persahabatan antar sesama serta untuk melatih kedisiplinan.
Viverani Desmera (22) sudah menyukai kegiatan mendaki gunung sejak masuk perguruan tinggi di Universitas Negeri Jambi sekitar tahun 2003. Untuk menyalurkan hobin mendaki gunung itu, Vie panggilan akrap Viverani bergabung ke kelompok pencinta alam Siginjai yang ada di perguruan tinggi tersebut di awal kuliah atau semester satu.
“Bagi saya mendaki gunung itu adalah panggilan jiwa karena saat itu saya merasa mendapat kepuasan yang luar biasa ketika sampai puncak, dan disaat itu pula saya lebih mencintai sang Pencipta dan mengagungi kebesarannya,” katanya.
Awalnya, Vie menduga ketika masuk dalam komunitas tersebut bisa langsung ikut mendaki gunung bersama mentor atau seniornya, namun tidak demikian. Vie harus mengikuti pendidikan dan latihan selama sekitar satu bulan untuk memahami tentang kegiatan mendaki gunung atau mountenering.
Mendaki gunung terlebih bagi pendaki professional ternyata membutuhkan ilmu dan wawasan. Salah satunya ilmu tentang peralatan yang dibutuhkan sewaktu mendaki, ilmu tentang lingkungan, social masyarakat, fotography, tekhnik bertahan atau survival, pengenalan peralatan dan lainnya.
Semua ilmu tersebut diperoleh Vie sewaktu mengikuti pendidikan dan latihan dasar yang diselenggarakan Clubnya yakni Siginjai. Lalu, setelah dirasa cukup memahi berbagai ilmu untuk kegiatan Mountenering selanjutnya langsung dilakukan praktik mendaki gunung.
Pendakian gunung yang pertama kali dilakukan Vie adalah Gunung Sumbing yang ketinggiannya sekitar 2.600 mdpl (meter diatas permukaan laut) yang berlokasi di Provinsi Jambi.
“Ada perasaan tegang dan keinginan yang kuat untuk cepat cepat sampai ke puncak,” katanya.
Sesampai di kaki gunung, kata Vie, dia bersama rekan rekannya yang didampingi senior atau mentor berdoa terlebih dahulu untuk memulai pendakian.
Tidak banyak orang yang tahu tentang Gunung Sumbing yang ada di Provinsi Jambi, karena memang Gunung tersebut bukan obyek wisata sepertihalnya Gunung Kerinci, Gunung Bromo atau Gunung Merapi.
Oleh karena itu, tantangan untuk mendaki gunung Sumbing lebih berat karena jalur untuk sampai ke puncak hampir sama sekali tidak ada, sehingga seluruh tim harus membuka jalur baru untuk sampai puncak.
Ditengah jalan, kata Vie dia terkejut karena banyak ditemukan lintah atau pacet yang awalnya masuk dari kaki hingga tubuhnya. Lintah atau pacet itu menghisap darahnya sehingga di beberapa bagian tubuh Vie dan juga rekannya terlihat banyak darah keluar sewaktu melepas lintah yang menempel ditubuhnya.
Selain itu, Vie juga harus menghadapi tantangan lereng gunung yang cukup curam yakni sekitar 60 derajat dan kondisi lereng yang curam itu juga menjadi tempat bagi Vie dan rekannya untuk beristirahat di kalam malam.
“Di Gunung Sumbing saya punya pengalaman menarik yakni banyaknya lintah yang nempel di tubuh saya terus harus tidur di tempat atau lereng gunung yang curam dengan sudut sekitar 60 derajat,” katanya.
Tantangan yang dihadapi Vie di perjalanan ternyata dibayar dengan harga yang pantas ketika sampai di Puncak. Di Puncak Vie mendapati pemandangan yang sangat menakjubkan dan dia pun tidak melepas kesempatan untuk mengambil foto matahari terbit di kala pagi hari.
Menurut Vie, selain Gunung Sumbing dia juga sudah mendaki Gunung Kerinci yang merupakan Gunung berapi tertinggi di Sumatra dengan ketinggian 3805 meter diatas permukaan laut. Kemudian Gunung Gede Pangrango di Bogor serta gunung merapi dan Singgalang di Sumatra Barat.
Salah seorang anggota Komunitas pendaki gunung di Batam, Randy yang kesehariannya bekerja di salah satu operator seluler mengatakan, dia masuk dalam komunitas pendaki gunung di Batam karena sejak kuliah memang menyukai kegiatan pendakian gunung. Dia bahkan bergabung dalam Kelompok Mahasiswa Pencinta Alam di kampusnya Universitas Indonesia.
Menurut Randy, di Indonesia terdapat organisasi yang memang aktivitasnya berhubungan dengan pendakian gunung yakni Wanadri atau Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung. Wanadri berdiri pada tahun 1964 bersamaan dengan tahun berdirinya Mapala Universitas Indonesia.
Menurutnya, Wanadri telah mendirikan lembaga pendidikan yang memberi pengetahuan kepada masyarakat umum tentang kegiatan mendaki gunung (Mountenering), dan alumni Wanadri sudah mencapai jutaan yang saat ini sudah banyak beraktivitas di berbagai bidang pekerjaan.
Randy bercerita sangat bersyukur bisa menekuni hobi mendaki gunung sebab ilmu dan pengalaman yang diperolehnya sangat berguna dalam perjalanan karirnya.
“Mendaki gunung itu seolah kita harus melewati berbagai rintangan dan berupaya untuk lebih memahami anggota tim, selain itu juga harus disiplin karena jika hal tersebut tidak dilakukan maka nyawa taruhannya,” kata dia.
Pengalaman tersebut, kata Randy di aplikasikan dalam pekerjaannya sehari hari, sehingga dia bisa dikatakan berhasil dalam menjalankan karirnya di salah satu perusahaan seluler di Batam.
Meski sudah bekerja dan sukses dalam karirnya, Randy tidak pernah lupa untuk mendaki gunung, sehingga jika ada waktu luang terutama saat libur dan cuti dia selalu menyempatkan untuk mendaki gunung.
Menurutnya, itu perlu dilakukan untuk menjaga stamina dan kesehatan.
Salah satu ilmu yang sangat penting diperolehnya sewaktu mendaki gunung dan dia aplikasikan dalam pekerjaanya yakni tentang membangun tim yang kuat dan menjaga saling pengertian diantara sesama tim. Karena dengan membangun tim yang kuat maka tujuan untuk mencapai puncak gunung semakin mudah diraih.
Lalu, dengan tim yang kuat juga maka tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan akan mudah di dapat. (gus).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar