Aksi kekerasan yang dilakukan masyarakat lokal atau masyarakat adat disejumlah daerah yang menimbulkan konflik horizontal, seperti yang terjadi di Provinsi Jambi selalu berpangkal pada faktor ekonomi yang menafikan faktor adat dan budaya. Jika persoalan itu tidak diselesaikan dengan tuntas dikuatirkan menjadi pemicu bubarnya negara.
Ketika masyarakat lokal kehilangan lahan atau tanah untuk berpijak dan mencari nafkah, maka berbagai cara akan dilakukan untuk mempertahankan hidup keluarganya. Itu terjadi di berbagai daerah di Indonesia seperti juga terjadi di Provinsi Jambi.
Sabtu (15/1), sejumlah aparat Brigade Mobile (Brimob) Jambi menembaki para petani kelapa sawit di Desa Karangmendo Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi, akibatnya enam warga dan dua anggota Brimob terluka.
Penembakan dilakukan karena diduga petani melakukan panen di lahan milik perusahaan PT Kresna Duta Agrindo (KDA), padahal menurut petani lahan perkebunan itu milik mereka.
Saling klaim antara warga dan perusahaan sudah berlangsung cukup lama dan hampir terjadi di seluruh daerah di Provinsi Jambi, olehkarenanya bentrok antara aparat kepolisian dan warga lokal sudah sering terjadi, bahkan sejumlah warga sudah menjadi korban (meninggal) akibat kisruh tersebut.
Rektor Universitas Negeri Jambi, Kemas Arsyad Somad yang dikonfirmasi melalui telepon selulernya menjelaskan, ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya konflik antara aparat kepolisian dan warga, antara lain ketidakjelasan status lahan, tidak berfungsinya lembaga adat dan faktor ekonomi yang memicu terjadinya kecemburuan sosial.
“Media berpengaruh besar terhadap pengikisan adat dan budaya yang terjadi di masyarakat, karena mereka melakukan banyak hal yang dicontohkan oleh tayangan media yang lebih banyak mengedepankan sikap egois, konsuntif dan individualisme. Hal itu dijadikan pembenaran warga untuk melakukan tindakan, padahal kondisi di satu daerah Indonesia tidak sama dengan daerah lainnya,” katanya, Selasa (18/1).
Menurut Kemas, sebagian besar lahan di Jambi saat ini sudah menjadi perkebunan sawit yang dimiliki perusahaan asing maupun domestik. Perubahan kepemilikan jutaan hectare lahan tersebut terkadang dilakukan dengan cara paksa yang merugikan warga lokal, selain itu banyak juga hutan lindung yang dikonversi menjadi areal perkebunan.
Data yang dimiliki lembaga Warsi (Warung Informasi dan Konservasi) tahun 2009 menyebut pemerintah pusat melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) telah mengeluarkan HGU atau Hak Guna Usaha untuk perkebunan sawit seluas 1.203.545 hektare. Sehingga luas huta yang dimilik Jambi saat ini kurang dari 800 ribu hectare atau kurang dari 40 persen dari luas provinsi Jambi yang sekitar 5 juta hectare.
Sebagian besar lahan untuk perkebunan sawit tersebut, kata Kemas dahulunya merupakan lahan tempat masyarakat lokal untuk mencari nafkah, sehingga wajar jika ada perlawanan dari warga terhadap perusahaan untuk menuntut haknya.
Menurut Kemas, konflik horizontal yang dipicu oleh persoalan lahan sebenarnya bisa dituntaskan jika kepala daerah atau Gubernur mau mengambil tindakan untuk memfasilitas seluruh pihak yang berkonflik untuk dialog.
“Dulu kita mengenal adanya musyawaran untuk mufakat, sekarang hal tersebut sudah tidak ada lagi di masyarakat,” katanya.
Untuk itu, simbol simbol adat seperti kepala adat, pertemuan adat dan lainnya harus dihidupkan kembali. Pihak perusahaan atau pemilik modal pun harus menahan diri untuk tidak mengejar target dan keuntungan saja.
Adat dan budaya, katanya saat ini sudah mulai terkikis karena pengaruh media. Masyarakat Indonesia saat ini sedang menuju kehidupan yang lebih modern, sayangnya adat dan budaya seoalah akan dilepaskan.
“Modern itu kan tidak musti menghilangkan adat dan budaya sehingga keduanya bisa berjalan beriringan,” katanya.
Padahal, jika kehidupan modern bisa berjalan beriring dengan adapt dan budaya seperti yang dilakukan masyarakat Jepang maka Indonesia akan memiliki jati diri yang kuat sebagai bangsa. Oleh karenanya, konflik horizontal pun bisa dihindari.
Menurut Kemas, jika konflik yang muncul di tengah masyarakat tidak segera di atasi, dikuatirkan akan melebar dan bisa menimbulkan konflik yang lebih besar sehingga distegrasi bangsa bisa saja terjadi.
M Ryaas Rasyid, mantan Menteri Negara Otonomi Daerah dan Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara dalam salah satu tesis-nya menyebut bahwa bangsa dan negara hanyalah sebuah konsensus. Bila konsensus tidak lagi diakui, maka eksistensi bangsa dengan sendirinya hilang, dan bersamaan dengan itu negara pun akan rontok.
Manusia dan masyarakat yang sebelumnya pernah sepakat menjadi satu bangsa mungkin
masih tetap eksis, tetapi mereka tidak lagi terikat dalam ikatan kebangsaan
yang sama. Demikian pula halnya dengan territori negara yang secara fisik
tetap ada, namun garis-garis demarkasi yang sebelumnya pernah diakui bersama
sudah berubah.
Satu bangsa bisa bubar jika terjadi krisis ekonomi yang akut dan berlangsung lama.
Menurut dia, krisis ekonomi merupakan faktor amat signifikan dalam mengawali lahirnya krisis yang lain seperti krisis politik-pemerintahan, hukum, dan sosial. Krisis ekonomi dimulai dari merosotnya daya beli masyarakat akibat inflasi dan
terpuruknya nilai tukar, turunnya kemampuan produksi akibat naiknya biaya
modal, dan terhambatnya kegiatan perdagangan dan jasa akibat rendahnya daya
saing. Muara dari semua ini adalah tutupnya berbagai sektor usaha dan
membesarnya jumlah penganggur dalam masyarakat.
Dalam kondisi demikian, harapan satu-satunya adalah investasi melalui
proyek-proyek pemerintah, misalnya, untuk pembangunan infrastruktur
transportasi secara besar-besaran sebagai upaya menampung tenaga kerja dan
memutar roda ekonomi.
Pecahnya satu bangsa juga, kata Rasyid dipengaruhi oleh krisis politik berupa perpecahan elite di tingkat nasional yang menyulitkan lahirnya kebijakan yang utuh dalam mengatasi krisis ekonomi.
Dalam situasi di mana perpecahan elite pusat makin meluas dan
kepemimpinan nasional makin tidak efektif, maka kemampuan pemerintah dalam
memberi pelayanan publik akan makin merosot. Akibatnya kepercayaan
masyarakat kepada pemerintah akan semakin menipis.
Keadaan ini biasa menjadi pemicu lahirnya gerakan-gerakan massal
anti-pemerintah yang terorganisasi. Bila gerakan-gerakan itu menguat dan
pada saat sama lahir gerakan massa tandingan yang bersifat kontra terhadap
satu sama lain-apalagi jika terjadi bentrokan fisik yang intensif di antara
mereka, atau antara massa dengan aparat keamanan negara-maka perpecahan di
antara top elite di pusat kekuasaan makin tak terhindarkan. Jurang
komunikasi akan makin lebar. Dalam situasi di mana kebencian dan saling
curiga antarkelompok sudah amat mengental, tidak ada satu pihak pun yang
memiliki legitimasi untuk memprakarsai upaya rekonsiliasi.
Akibatnya, jalan menuju rontoknya bangunan kekuasaan di tingkat pusat akan
semakin lempang. Perkembangan ini secara otomatik akan mendorong penguatan
potensi gerakan-gerakan separatisme yang memicu krisis sosial.
Selanjutnya, pihak internasional akan melakukan intervensi yang bertujuan memecah-belah, seraya mengambil keuntungan dari perpecahan itu melalui dominasi pengaruhnya
terhadap kebijakan politik dan ekonomi negara-negara baru pasca disintegrasi.
Intervensi itu bergerak dari yang paling lunak, berupa pemberian advis yang
membingungkan kepada pemerintah nasional yang pada dasarnya sudah kehilangan
arah; ke bentuk yang agak kenyal, berupa provokasi terhadap kelompok-kelompok yang berkonflik; hingga yang paling keras, berupa suplai kebutuhan material untuk memperkuat kelompok-kelompok yang berkonflik itu.
Proses intervensi terakhir ini amat mungkin terjadi saat pemerintah nasional
sudah benar-benar tak berdaya mengontrol lalu lintas informasi, komunikasi,
mobilitas sosial, serta transportasi darat, laut, dan udara. Bila ini terjadi, maka jalan menuju disintegrasi semakin jelas, hanya menunggu waktu
sebelum menjadi kenyataan, terlebih jika tentara dan polisi mengalami demoralisasi dalam bentuk pupusnya keyakinan atas makna pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya sebagai bhayangkari negara. (gus).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar