Nelayan di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) kian sulit mendapat hasil tangkapan disebabkan laut tempat mereka biasa mencari ikan sudah tercemar akibat limbah industri, selain itu sering langkanya bahan bakar minyak seperti solar membuat aktivitas mereka terganggu. Akibatnya, kehidupan nelayan kian terjepit ditengah harga kebutuhan pokok yang terus meningkat.
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Bintan Provinsi Kepri, Baini mengatakan, perekonomian warga Kepri yang berprofesi sebagai nelayan kian terjepit karena hasil tangkapannya kian menyusut, padahal biaya produksi khususnya untuk membeli bahan bakar solar terus meningkat. Selain harganya yang terus naik, keberadaanya juga terkadang sulit diperoleh.
Selain itu, maraknya aktivitas industri di pinggir laut telah menimbulkan pencemaran di sekitar areal pantai bahkan lebih jauh ke tengah laut disebabkan banyak industri yang membuang limbahnya langsung ke laut tanpa proses pengolahan. Akibatnya, hasil tangkapan para nelayan terus menyusut.
Di Kabupaten Bintan, misalnya pencemaran laut terjadi akibat aktivitas pertambangan PT Gunung Sion yang melakukan penambangan bauksit. Perusahaan itu diduga dengan sengaja membuang limbah produksinya langsung ke laut menyebabkan perairan di sekitar perusahaan itu tercemar.
Selain itu, pendangkalan perairan di sekitar pantai khususnya di sekitar areal yang dulunya banyak ditanami pohon bakau juga berkontribusi terhadap penyusutan hasil tangkapan nelayan. Kondisi itu dipengaruhi oleh banyaknya aktivitas perambahan pohon bakau oleh masyarakat yang didukung pengusaha untuk dijadikan arang. Kemudian menyusutnya hasil tangkapan nelayan juga dipengaruhi oleh aktivitas penambangan pasir.
Akvitas industri yang mencemari laut tersebut telah mengakibatkan kehidupan biota seperti ketam-ketam, udang dan gonggong yang biasa menjadi tangkapan para nelayan makin langka didapatkan, karena habitat tempat mereka hidup telah rusak.
”Semakin sulitnya mendapatkan hasil tangkapan seperti ketam, udang dan gong gong karena habitat mereka telah tercemar,” kata salah seorang nelayan di Bintan, Razak.
Oleh karenanya, Razak dan beberapa nelayan lain sering tidak melaut dan mencari profesi lain seperti buruh bangunan atau tukang ojek meskipun dengan upah rendah.
Menurut Razak, perubahan profesi itu terpaksa dilakukan sebab untuk melaut saat ini harus diperhitungkan antara biaya produksi dengan hasil yang akan diperoleh, sebab jika tidak demikian bisa menimbulkan kerugian.
Misalnya, untuk mencari ketam di laut harus dipancing dengan umpan dari ikan pari yang harganya sekitar 8 ribu rupiah per kilo gram. Dalam satu kali melaut, Razak menyiapkan 5 kilo gram umpan, sehingga biaya untuk membeli umpan saja sekitar 40 ribu rupiah untuk sekali melaut.
Dengan harga ketam saat ini sebesar 40 ribu rupiah per kilo gram, maka bila Razak hanya mendapat satu ketam akan rugi, sebab dia hanya bisa membawa satu kilo gram ketam dengan harga jual 40 ribu rupiah, padahal biaya produksi untuk membeli umpah saja sudah 40 ribu rupiah, belum lagi ditambah biaya bahan bakar dan kebutuhan selama di laut.
Pada masa lalu, kata Razak mencari ketam atau hasil laut lainnya seperti udang dan gongong sangat mudah dan hasil tangkapan juga lumayan banyak karena saat itu laut belum tercemar. Namun, saat ini untuk mencari satu kilo gram ketam, udang ataupun gonggong sangat sulit karena laut sudah tercemar.
Oleh karena itu, Razak dan nelayan lainnya harus bekerja apa saja untuk menghidupi keluarganya. Razak dan nelayan lainnya berharap, pemerintah bisa menertibkan para penambang dan aksi liar orang tak bertanggung jawab yang merambah hutan bakau. Para nelayan juga berharap pemerintah bisa bertindak tegas terhadap perusahaan yang mencemari laut. (gus).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar