Pemerintah pusat diketahui menyetor 4,07 triliun rupiah pada tahun 2010 untuk memenuhi kebutuhan anggaran Provinsi Kepulauan Riau, sedangkan setoran pajak dari Kepri hanya sekitar 3 triliun rupiah dan itupun masih mengalami penurunan sekitar 300 miliar rupiah setiap tahunnya paska pemberlakuan FTZ untuk tiga wilayah yakni Batam, Bintan dan Karimun, sehingga fungsi FTZ kian dipertanyakan.
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Pajak Provinsi Riau dan Kepri, Nirwan Tjipto mengatakan, penerimaan pajak dari Provinsi Kepri sebesar 3,4 triliun rupiah pada tahun 2008, lalu mengalami penurunan pada tahun 2009 menjadi 3,1 triliun rupiah dan tahun 2010 ini diprediksi kembali mengalami penurunan akibat pemberlakuan FTZ bagi tiga daerah potensial yakni Batam, Bintan dan Karimun.
Penurunan pendapatan pajak dari Kepri disebabkan kutipan pajak dari PPnBM (Pajak Pertambahan nilai Barang Mewah) tidak diperkenankan kembali karena status FTZ membebaskan kutipan tersebut. Oleh karenanya, pemerintah berpotensi kehilangan sekitar 250 miliar rupiah setiap tahun dari PPnBM. Kondisi itu diperparah lagi dengan pemberlakuan bebas fiskal yang menghilangkan pendapatan dari biaya masyarakat yang ingin keluar negeri.
Menurut Nirwan, pemerintah mestinya bisa mengonpensasi kehilangan penerimaan dari PPnBM ke pajak penghasilan karena di asumsikan dengan adanya FTZ maka banyak masyarakat asing dan lokal yang memiliki gaji tinggi sehingga PPh bisa meningkat. Sayangnya, sebagian besar orang asing yang bergaji tinggi termasuk perusahaannya justru membayar pajak di luar negeri terutama Singapura melalui praktek transfer pricing.
“Banyak perusahaan khususnya perusahaan asing di Batam melakukan praktek transfer pricing dengan membayar pajak ke negara lain dengan alasan nilai pajak di Indonesia lebih tinggi, akibatnya negara dirugikan karena kehilangan pendapatan,” katanya.
Sementara itu, untuk berharap PPh dari gaji warga lokal tidak bisa diharapkan disebabkan gaji yang diterima relatif kecil, itu bisa dilihat dari UMP Provinsi Kepri yang tidak lebih dari 1,2 juta rupiah per bulan per orang.
Nirwan berharap pemerintah bisa mengaji ulang pelaksanaan FTZ terhadap penerimaan pajak dari Kepri, karena faktanya pendapatan pajak dari Kepri akan terus mengalami penurunan seiring pemberlakuan status FTZ bagi BBK.
Hal itu patut dicemaskan, sebab target penerimaan pajak dari Kepri justru membesar yakni lebih dari 4 triliun rupiah, padahal kantor pajak sudah tidak bisa mengutip beberapa jenis pajak dari Kepri khususnya BBK (Batam, Bintan dan Karimun) yang justru merupakan daerah potensial penerimaan pajak.
Komisi XI DPR RI Harry Azhar Azis yang melakukan kunjungan ke Batam terkait soal perpajakan menerima banyak masukan dari berbagai kelompok masyarakat Batam terkait dengan pelaksanaan FTZ, pajak dan lainhnya.
Menurut Harry, kehilangan pajak dari PPnBM di Kepri mestinya memang bisa dikonpensasikan pada penerimaan PPh namun hal itu tidak terjadi disebabkan berbagai faktor antara lain kejahatan pajak.
Beberapa perusahaan asing, kata dia berupaya menghindari pajak dengan melakukan praktek transfer pricing. Selain itu kebijakan mengenai Tax Treaty antara Indonesia dan Singapura yang sudah berlaku selama 30 tahun juga sangat merugikan Indonesia karena menghilangkan pendapatan pajak dari uang masyarakat.
“Tax Treaty merupakan aturan yang sudah jelas untuk menghindari pembayaran pajak dan itu sudah terjadi selama 30 tahun lebih. Pasalnya, setiap warga negara Indonesia diperbolehkan menyimpan uang di Singapura lalu bisa menarik kembali uangnya untuk di investasikan di Indonesia tanpa dikenakan pajak oleh pemerintah RI,” katanya.
Oleh karena itu, Harry meminta pemerintah mengevaluasi secara menyeluruh pelaksanaan FTZ apakah menguntungkan atau justru merugikan bagi negara. Terkait dengan penarikan investasi dan penciptaan lapangan kerja juga perlu dilihat sampai seberapa besar lapangan kerja baru yang diciptakan dan berapa banyak tenaga kerja yang mampu diserap. (gus).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar