BATAM – Unjuk rasa ribuan buruh dari sejumlah perusahaan di Batam pada Senin (30/11) yang menuntut peningkatan upah minimum 2010, berpengaruh negatif terhadap iklim investasi di Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas (FTZ) tersebut. Pasalnya, sejumlah investor asing (PMA) merasa dirugikan akibat tidak bekerjanya karyawan yang menyebabkan kegiatan produksi terhenti.
Direktur Kawasan Industri Batamindo (Batamindo Industrial Park) Jhon Sulistiawan kepada Koran Jakarta mengatakan, pihaknya telah mendapat protes dari sejumlah perusahaan asing antara lain dari perusahaan Jepang, Singapura, Korea dan Amerika serikat yang beroperasi di kawasan itu, terkait unjuk rasa yang dilakukan ribuan buruh dari perusahaan tersebut pada Senin (30/11).
Pasalnya, kata Jhon, unjuk rasa yang dilakukan buruh tersebut telah menghentikan kegiatan produksi sehingga perusahaan mengalami kerugian dan dikuatirkan bakal mengalami keterlambatan order barang ke sejumlah negara sehingga bisa memicu kehilangan pelanggan.
“Saya sudah mendapat komplain dari manajemen perusahaan asing yang beroperasi di Batamindo yang mempertanyakan soal Demo kemarin, dan itu sangat disesalkan karena bisa berdampak negatif bahkan dikuatirkan mereka bisa hengkang dari Batam karena sudah tidak nyaman lagi untuk investasi,” katanya, Senin (30/11).
Padahal, kata Jhon saat ini pihaknya sedang berusaha menarik investasi asing dari berbagai negara untuk beroperasi di Batamindo, paska ditetapkannya Batam sebagai kawasan FTZ sejak April 2009.
Namun, unjuk rasa yang dilakukan buruh pada Senin kemarin telah memperburuk citra Batam sebagai kawasan investasi dan dikuatirkan bukan terjadi penambahan investasi malah justru berkurang.
Sebagai contoh, kata dia, kawasan Industri Batamindo sebagai kawasan industri terbesar di Batam dan Provinsi Kepri yang pada tahun 2000 memiliki 95 perusahaan sebagian besar PMA dengan jumlah tenaga kerja sekitar 85 ribu orang, saat ini hanya di isi sekitar 74 perusahaan dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 59 ribu orang.
Penurunan jumlah perusahaan asing yang beroperasi di Batamindo tersebut, juga terjadi di kawasan industri lain yang dipengaruhi oleh dampak krisis keuangan global. Selain itu, juga dipengaruhi iklim investasi yang kurang kondusif di Batam akibat tidak adanya kepastian hukum sebelum diberlakukannya FTZ.
Kondisi itu, kata Jhon diperparah lagi dengan kegiatan unjuk rasa yang dilakukan ribuan buruh pada Senin kemarin yang menimbulkan kekuatiran dari sejumlah perusahaan asing. Unjuk rasa buruh dan kekuatiran dari perusahaan asing itu kata dia dalam waktu singkat akan diketahui oleh publik di banyak negara karena aktivitas unjuk rasa buruh tersebut juga di liput oleh media asing sehingga akan menimbulkan citra negatif terhadap iklim investasi Batam.
Pemerintah Tak Sigap
Terhadap ujuk rasa yang dilakukan buruh tersebut, Jhon menilai Pemerintah Kota Batam dan Pemerintah Provinsi kurang sigap mengantisipasinya. Pasalnya, kegiatan itu selalu terjadi setiap tahun saat membahas soal UMK (Upah Minimum Kota).
“Mestinya Pemerintah sudah punya langkah langkah agar unjuk rasa tidak sampai terjadi dengan mempelajari pengalaman tahun tahun sebelumnya, tapi hal itu selalu dibiarkan sehingga unjuk rasa selalu terjadi setiap tahun,” katanya.
Jhon sendiri menilai, tuntutan buruh yang meminta UMK tahun 2010 sebesar 1.275.529 rupiah tidak rasional karena asumsi yang dipakai berdasarkan laju inflasi tahun 2009 lebih dari 20 persen, padahal data dari BPS laju inflasi hanya 2,6 persen.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Provinsi Kepri Cahya menambahkan, dalam situasi sulit saat ini akibat dampak resesi global, tuntutan peningkatan upah yang diminta pekerja sulit untuk diwujudkan karena banyak perusahaan di Batam juga sedang mengalami kesulitan financial akibat penurunan order.
Oleh karena itu, pengusaha dan pekerja perlu kembali membahas dan mendudukan persoalan soal penetapan UMK 2010 tersebut secara lebih baik bukan dengan cara unjuk rasa.
Cahya menilai, munculnya peningkatan UMK 2010 yang cukup tajam dari pekerja disebabkan Pemerintah yang tidak bisa mengontrol harga barang, sehingga laju inflasi terus meningkat. Padahal, pemerintah memiliki kemampuan untuk mengontrol dan menekan harga barang agar bisa dijangkau masyarakat Batam yang sebagian besar merupakan pekerja industri.
“Mestinya pemerintah bisa menciptakan iklim berusaha yang baik di Batam dengan cara menghilangkan monopoli perdagangan khususnya untuk Sembako agar barang tersebut dijual dengan harga murah,” katanya. Namun, kenyataanya, untuk mengurus soal gula dan beras saja Pemerintah Kota Batam kewalahan, yang menyebabkan harga gula dan beras di Batam sangat tinggi, sehingga menjadi faktor utama pendorong laju inflasi.
Unjuk Rasa Buruh
Sementara itu, ribuan pekerja yang berasal dari perusahaan di Batam melakukan unjuk rasa di depan Kantor Walikota Batam yang dilanjutkan di depan kantor DPRD Kota Batam menuntut penyesuaian UMK 2010 berdasarkan angka Kebutuhan Hidup Layak (KHL) Batam sebesar 1.275.529 rupiah.
Unjuk rasa itu dilakukan karena pembahasan soal UMK beberapa waktu lalu antara pekerja dan pengusaha mengalami jalan buntu (Dead lock), disebabkan masing masing pihak berkeras dengan angka UMK yang ditawarkan.
Dalam rapat yang dilakukan pekan lalu, pengusaha yang diwakili Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengusulkan angka UMK 2010 sejumlah 1.071.000 rupiah atau naik 2,5 persen dibanding tahun 2009, sedangkan pekerja yang diwakili beberapa serikat pekerja mengusulkan angka 1.140.000 rupiah.
Akibat tidak ditemukannya kesepakatan, akhirnya keputusan diserahkan ke pemerintah sebagai Dewan Pengupahan.
Walikota Batam, Ahmad Dahlan yang menghampiri ribuan pekerja yang berunjuk rasa di depan kantor Walikota dengan pengeras suara mengatakan, pemerintah memutuskan UMK Batam 2010 sebesar 1.110.000 rupiah.
"Upah minimum (UMK 2010 akan menjadi 1.110.000 rupiah dan besaran itu, selanjutnya akan kita sampaikan ke Gubernur Kepulauan Riau," kata Ahmad Dahlan mengunakan pengeras suara.
Pengumuman dari Walikota Batam tersebut langsung disambut penolakan dari pendemo, sehingga Ahmad Dahlan dan beberapa pejabat akhirnya meninggalkan lokasi unjuk rasa, namun dihalang halangi pendemo sehingga sempat terjadi kericuhan, namun berhasil direda oleh aparat dari Poltabes Barelang.
Salah seorang peserta demo, Budi Sitompul yang bekerja di perusahaan galangan kapal Batam kepada Koran Jakarta mengatakan, pekerja tetap bertahan di angka 1.275.529 rupiah.
"Itu harga hati,” katanya.
Setelah, Walikota menyampaikan pengumuman tersebut peserta demo yang tidak puas dengan keputusan Walikota sesaat masih berada di halaman depan kantor Walikota Batam, namun perlahan lahan mereka meninggalkan lokasi unjuk rasa, dan berencana melanjutkan unjuk rasa kembali dengan jumlah yang lebih besar pada Rabu (2/12). (gus).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar