JAKARTA – Perusahaan coklat PT Davomas Abadi Tbk mengalami penurunan penjualan hingga 58 persen pada kuartal satu ini karena menurunnya order dari pembeli utama, meski demikian perusahaan itu masih optimistis kinerja pendapatannya tahun ini bisa tumbuh 50 persen sesuai dengan target industri coklat.
Sekretaris Perusahaan Davomas Hasiem Wily mengatakan, kinerja kuartal satu ini belum mengembirakan, itu terlihat dari nilai penjualan hanya 148,34 miliar rupiah turun 57,6 persen dibanding periode sama 2009 yang 349,7 miliar rupiah. Meski demikian, perseroan mengalami penurunan rugi bersih cukup signifikan yakni dari 837,5 miliar rupiah di kuartal satu 2009 menjadi hanya 3,8 miliar rupiah di kuartal satu ini.
“Penurunan penjualan di kuartal satu biasa saja dan hampir terjadi setiap tahun, namun penjualan akan meningkat di kuartal selanjutnya sehingga kami masih optimistis pada target pertumbuhan penjualan pada tahun ini,” katanya, Rabu (28/4).
Menurut Hasiem penurunan penjualan dikuartal satu ini di sebabkan pembeli utama mengurangi ordernya. Pembeli utama tersebut adalah, Thobroma yang hanya melakukan pembelian 50,02 miliar rupiah, lebih rendah dari pembelian di kuartal satu 2009 yang 83,3 miliar rupiah. Kemudian, Incresa yang hanya melakukan pembelian senilai 35 miliar rupiah lebih rendah dibanding periode sama 2009 yang 100,97 miliar rupiah, lalu Agromodity hanya 32,98 miliar rupiah lebih rendah dibanding nilai pembelian di periode sama 2009 yang 115,6 miliar rupiah.
Meski penjualan di kuartal satu ini turun, katanya pihaknya tetap optimistis pertumbuhan penjualan tahun ini bisa sama dengan pertumbuhan industri coklat yakni 50 persen. Pasalnya, perseroan cukup ekspansif pada tahun ini paska rampungnya proses restrukturisasi utang dengan sejumlah kreditor asing dan nasional.
Davomas akan memacu produksi coklat untuk memenuhi pasar Amerika dan Eropa yang sudah mulai pulih paska krisis keuangan global di 2008, selain itu juga untuk memenuhi pasar domestik yang cukup tinggi permintaanya.
Untuk meningkatkan produksi tersebut, perseroan akan meningkatkan pembelian bahan baku biji coklat dari petani yang akan diproduksi menjadi kakao lemak (cocoa butter) dan kakao bubuk (cocoa powder).
Untuk itu telah dianggarkan belanja modal sejumlah 7 juta dollar AS atau sekitar 70 miliar rupiah dengan kurs 10.000 rupiah per dollar AS dari kas internal yang akan digunakan untuk belanja rutin dan persiapan membeli bahan baku biji coklat.
Pihaknya sendiri belum akan melakukan investasi baru seperti perluasan pabrik atau penambahan mesin karena kapasitas yang ada saat ini dinilai masih bisa memenuhi permintaan konsumen. Peningkatan produksi tersebut diyakini bisa memacu pendapatan pada tahun ini.
Tahun lalu, kata Hasiem kegiatan produksi terganggu bahkan terhenti pada Mei 2009 akibat proses restrukturisasi yang sedang dijalani. Namun, prosesnya sudah rampung ketika kreditor menyetujui untuk melakukan pembebasan utang atau hair cut kepada debitur Singapura sebesar 50 persen dari total utang perseroan sebesar 243 juta dollar AS.
Dari utang outstanding 2009 sekitar 243 juta dollar AS yang sudah diexchange 117 juta dollar AS. Namun, ada kreditur yang existing dengan nilai dana sekitar 3,9 juta dollar AS sehingga total utang perseroan pada saat ini tinggal 120 juta dollar AS.
Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) menargetkan produksi biji kakao, baik fermentasi maupun non-fermentasi pada tahun ini sebesar 540.000 ton, lebih tinggi dibanding produksi 2009 yang 500.000 ton. Dari jumlah produksi kakao nasional yang 500.000 ton pada 2009, sebagian besar atau sekitar 360.000 ton di ekspor sedangkan yang diserap di pasar dalam negeri hanya 140.000 ton sesuai dengan kebutuhan nasional.
Industri coklat dalam negeri sendiri, memiliki kapasitas terpasang hingga 230.000 ton setiap tahunnya namun utilisasinya masih 140.000 ton. (gus).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar