JAKARTA - Perusahaan serat sintetis, PT Asia Pasifik Fibers Tbk yang dahulu bernama PT Polysindo Eka Perkasa Tbk masih belum dapat meningkatkan kapasitas produksinya yang sudah maksimum dengan membeli mesin produksi baru disebabkan belum bisa mencari pinjaman karena belum rampungnya restrukturisasi utang dengan PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA). Meski demikian, perusahaan itu berhasil mencapai target penjualan 2009 senilai 3,5 triliun rupiah.
Sekretaris Perusahaan Asia Pasifik Fibers H. Tunaryo mengatakan, proses restrukturisasi utang dengan PPA yang ditargetkan rampung awal 2010 ternyata belum selesai sampai saat ini sehingga rencana untuk meningkatkan kapasitas produksi mesin di Kerawang dan Semarang yang sudah hampir maksimal belum bisa dilakukan.
“Proses restrukturisasi di PPA yang dijadwalkan selesai awal tahun ini ternyata gagal, akibatnya kapasitas produksi belum bisa ditingkatkan,” katanya kepada Koran Jakarta, Minggu (7/2).
Padahal kata Tunaryo, konsumsi serat sintetis tahun ini diprediksi bakal melonjak dipicu oleh mulai membaiknya ekonomi nasional dan global. Itu terbukti dengan tingginya permintaan serat sintetis seperti benang fillamen dari dalam negeri yang mendorong tercapainya target penjualan perseroan sebesar 3,5 triliun rupiah di 2009, naik 6,1 persen dibanding 2008 yang 3,3 triliun rupiah.
Untuk tahun ini, perseroan menargetkan penjualannya sama dengan 2009 yakni 3,5 triliun rupiah dengan asumsi jumlah produksi sama dengan 2009, namun bila proses restrukturisasi utang dengan PPA rampung dan perseroan bisa memperoleh pinjaman bank untuk membeli mesin produksi baru sehingga kapasitas produksi naik maka penjualan akan naik signifikan atau bisa mencapai lebih dari 4,0 triliun rupiah.
Tunaryo optimistis dengan target tersebut karena pengalaman di 2009 tingkat konsumsinya cukup tinggi dan tahun ini dipredisksi akan naik signifikan. Pada tahun 2009, perseroan mampu menjual 700.000 ton benang fillamen di dalam negeri dengan market share sekitar 30 persen, jumlah itu masih bisa di tingkatkan karena permintaan cukup tinggi.
Perseoan sendiri menjual produksinya 65 persen untuk kebutuhan domestik dan 35 persen untuk ekspor. Penjualan ekspor sebenarnya bisa ditingkatkan karena permintaan cukup tinggi, namun konsumsi domestik sendiri cukup kuat sehingga penjualan ekspor belum dapat ditingkatkan.
Menurut Tunaryo, kinerja perseroan cukup terganggu karena belum selesainya proses restrukturisasi dengan PPA. Padahal, sejak pemilik saham lama yakni Texmaco hengkang dari Asia Pasifik, mestinya PPA bisa memisahkan restrukturisasi tersebut sehingga prosesnya menjadi lebih mudah.
Perseroan memiliki total tunggakan utang yang sedang direstrukturisasi oleh PPA sejumlah 1 miliar dollar AS dan sudah dibayar 107 juta dollar AS, sisanya sekitar 893 juta dollar AS rencananya akan dikonversi menjadi saham sebanyak dua miliar unit atau dengan jumlah kepemilikan saham sekitar 51,2 persen.
Menurut Tunaryo, pemegang saham mayoritas saat ini yakni Damiano Investment BV dari Belanda sedang intensif mengurus proses restrukturisasi tersebut, dan diharapkan pertengahan tahun ini bisa rampung. Damiano Investment BV diketahui memiliki 60,70 persen saham di PT Asia Pasifik Fibers Tbk yang awalnya dimiliki Texmaco.
Revitalisasi Industri
Sementara itu, Direktur Industri TPT (Tekstil dan Produk Tekstil) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Arryanto Sagala mengatakan, pemerintah akan meneruskan program restrukturisasi mesin industri tekstil dalam negeri, dan tahun ini dana subsidi untuk program pembaharus mesin produksi tekstil dianggarkan 144,35 miliar rupiah.
Anggaran itu lebih rendah disbanding tahun tahun sebelumnya, pada 2007 dana yang dialokasikan 255 miliar rupiah, lalu naik menjadi 330 miliar rupiah di 2008 dan tahun 2009 menjadi 240 miliar rupiah.
Rendahnya anggaran tahun ini, kata Arryanto disebabkan daya serap atau penggunaan dana tersebut oleh perusahaan tekstil relatif kecil yakni hanya 61 persen dari target pemerintah.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Benny Soetrisno menambahkan, mesi daya serat program restrukturisasi itu kecil namun pemerintah diminta untuk tetap meneruskan program tersebut untuk meningkatkan daya saing sektor tekstil di tengah era perdagangan bebas, karena selama berjalannya program itu sudah banyak perusahaan tekstil yang meremajakan mesin produksinya sehingga kualitas produksi makin terjamin. (gus).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar